Kamis, 13 November 2008

shalat untuk pemula

SHALAT UNTUK PEMULA

Shalat yang diwajibkan ada lima :
1. Shalat zhuhur :
Waktu shalat zhuhur berawal dari saat matahari tergelincir hingga bayangan segala sesuatu sama dengan aslinya.
Dalil disyariatkannya shalat adalah :
a. Firman Allah Ta'ala
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.“ (An-Nisa :103)
b. Hadits-hadits Rasulullah saw diantaranya :
Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari (8), Muslim (16) dan lain-lain bahwa Rasulullah saw bersabda :
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun atas lima dasar : bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak di sembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji dan puasa Ramadhan.”
Hadits tentang kisah Isra’Mi’raj :
فَرَضَ اللهُ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِيْنَ صَلاَةً... فَرَجَعْتُهُ فَقَالَ: هِيَ خَمْسٌ وَ هِيَ خَمْسُوْنَ لاَ يُبَدَّلُ اْلقَوْلُ لَدَيَّ
“Maka Allah mewajibkan lima puluh shalat ... lalu aku kembali menghadap, sehingga Allah berfirman: 'shalat (yang diwajibkan) itu ada lima tetapi ganjarannya 50 kali lipat, firman-Ku tidak bisa diubah."
(HR. Bukhari: 342 dan Muslim: 163 dan lain-lain)
Dalil yang menghimpun seluruh waktu-waktu shalat fardhu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (614) dan lain- lain, dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, ia berkata, "Suatu ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang waktu-waktu shalat, namun Beliau tidak menjawab sepatah katapun."
Lalu orang tersebut bercerita, “Maka Beliau mendirikan shalat subuh manakala terbit fajar, sehingga orang-orang hampir tidak mengenal satu sama lain (karena masih gelap). Kemudian Beliau memerintahkan agar shalat zhuhur didirikan ketika matahari tergelincir. Ada orang yang lebih mengerti berkata, “Siang telah sampai separuhnya,“ lalu Beliau memerintahkan agar shalat ashar dilaksanakan ketika matahari telah tinggi (condong), kemudian memerintahkan agar shalat magrib didirikan ketika matahari telah terbenam dan memerintahkan agar shalat Isya ditunaikan ketika mega telah hilang.
Pada esok harinya, Beliau mengakhirkan shalat subuh sampai-sampai ketika selesai ada seorang yang berkata, “Matahari hampir terbit,“ Beliau mengakhirkan shalat zhuhur sehingga mendekati waktu ashar yang dilakukan pada hari sebelumnya, mengakhirkan shalat ashar sampai-sampai ketika selesai ada orang yang berkata “Matahari telah memerah,“ lalu Beliau mengakhirkan waktu shalat maghrib sampai menjelang mega menghilang dan mengakhirkan isya’ sampai sepertiga malam yang pertama."
Kemudian, ketika tiba keesokan harinya, Beliau memanggil orang yang bertanya seraya bersabda “Waktu-waktu shalat itu adalah di antara kedua waktu ini.“
2. Shalat Ashar
Waktu shalat ashar bermula sejak bayangan segala sesuatu melebihi aslinya sampai ketika bayangan sesuatu dua kali lebih panjang dari ukuran aslinya, untuk lebih hati-hati dan diperbolehkan sampai terbenam matahari.
Imam Bukhari (554) dan Muslim (608) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
“Barang siapa masih dapat mengerjakan satu rakaat shalat subuh sebelum matahari terbit, berarti di telah mengerjakan shalat subuh (pada waktunya), “Barang siapa masih dapat mengerjakan satu rakaat shalat ashar sebelum matahari terbenam, berarti di telah mengerjakan shalat ashar (pada waktunya)."

3. Shalat Magrib
Waktunya satu, yakni setelah terbenam matahari, sekedar waktu orang mengumandangkan adzan, wudhu, menutup aurat, iqamat dan mengerjakan shalat lima rakaat.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'i ra pada Qaul Jadid Dalilnya, hadits tentang malaikat Jibril yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (393), Tirmidzi (149) dan lain-lain dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa malaikat Jibril shalat magrib bersama Nabi selama dua hari, bertepatan dengan waktu orang puasa berbuka
Yaitu satu waktu ketika matahari telah terbenam.
Sedangkan dalam Qaul Qadim, Imam Syafi'i ra berpendapat bahwa waktu shalat magrib adalah sampai mega merah menghilang.
Para ulama madzhab (Syafi'i) lebih memilih pendapat terakhir ini karena dalil-dalilnya lebih kuat, seperti hadits Muslim terdahulu yang menceritakan tentang waktu-waktu shalat ketika Rasulullah saw di Madinah. Hadits ini lebih utama dari hadits tentang malaikat Jibril yang terjadi ketika Nabi saw masih berada di Mekah, karena hukum yang paling kuat adalah yang paling akhir ditetapkan. Pada hadits tersebut diceritakan bahwa Nabi saw mengakhirkan waktu magrib sampai mega hampir menghilang, dikuatkan lagi oleh sabda beliau yang berbunyi:
وَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ
"Waktu shalat magrib sampai sebelum menghilangnya mega merah."

4. Shalat Isya.
Waktunya sejak hilangnya mega merah, sampai sepertiga malam pertama, menurut waktu yang lebih baik dan diperbolehkan hingga terbitnya fajar kedua.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim (681) dan lain-lain, dari Abu Qatadah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ اْلأُخْرَى
“Tidak mengerjakan shalat karena tertidur bukanlah sikap mengabaikan, tapi, orang yang mengabaikan shalat adalah orang yang tidak mengerjakannya hingga tiba waktu shalat berikutnya.“
Hadits ini menerangkan bahwa waktu shalat belum berakhir sampai masuknya waktu shalat berikutnya. Namun, shalat subuh tidak masuk kategori ini berdasarkan hadits sebelumnya.
Fajar kedua adalah fajar yang sinarnya membentang ke segala penjuru lalu diikuti dengan sinar yang semakin terang. Berbeda dengan fajar pertama yang sinarnya memanjang ke atas seperti ekor srigala diikuti dengan gelap.

5. Shalat Subuh
Waktu shalat subuh dimulai sejak terbitnya fajar kedua sampai ketika langit terang, menurut waktu yang lebih baik dan diperbolehkan hingga terbit matahari.

Syarat Wajib Shalat
Syarat wajib shalat ada tiga:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
Ketiga poin ini adalah batasan dimana seorang disebut sebagai mukallaf. Artinya, jika ketiga poin ini terdapat pada seseorang, ia wajib shalat dan wajib menunaikan cabang-cabang syariat lain yang diperintahkan. Jika ketiga hal ini tidak terdapat pada seseorang, ia tidak dibebankan apa-apa.
Mengenai syarat Islam, diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (1331) dan Muslim (19) dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Rasulullah saw mengutus Muadz ra ke Yaman, seraya bersabda,
اُدْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah. Apabila mereka mengikuti ajakan itu, beritahulah mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan atas mereka 5 waktu shalat dalam sehari semalam."
Tentang syarat berakal dan baligh disinggung dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud(4403) dan lain-lain dari Ali ra bahwa Nabi saw bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Tiga orang yang tidak dibebankan perintah syariat; orang yang sedang tidur sehingga ia terbangun, anak kecil sampai ia baligh dan orang gila hingga ia sembuh.”

Shalat-shalat Sunnah
Shalat-shalat yang disunnahkan ada lima,
1. Shalat idul fitri
2. Shalat idul Adha
3. Shalat gerhana matahari
4. Shalat gerhana bulan
5. Shalat istisqha' (minta hujan)
Yakni shalat-shalat sunnah yang sangat dianjurkan melebihi shalat sunnah yang lain karena berdiri sendiri dan dituntut untuk dilakukan secara berjamaah. Penjelasan rincinya akan kami paparkan pada pembahasan tersendiri, insya Allah.

v Sedangkan shalat-shalat sunah yang mengiringi shalat-shalat fardhu ada tujuh belas rakaat :
Dua rakaat sebelum subuh.
Imam Bukhari (1116) dan Muslim (724) meriwayatkan dari Aisyah, ia menyatakan, “Tidak ada shalat sunnah yang lebih dijaga dan selalu dikerjakan oleh Nabi saw melebihi shalat sunah dua rakaat sebelum subuh.”

Empat rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat sebelumnya.
Imam Bukhari (1127) meriwayatkan dari Aisyah ra, ia menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah meninggalkan shalat sunah empat rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat sebelum subuh.
Dalam riwayat Muslim (730) Aisyah menyatakan, “ Beliau shalat sunah empat rakaat sebelum zhuhur di rumahku, kemudian pergi ke mesjid untuk mengimami shalat, lalu pulang ke rumah dan shalat sunah dua rakaat.“
Beliau juga menambah dua rakaat lagi setelah itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam yang lima dan dishahihkan oleh Tirmidzi (427,428) dari Umi Habibah ra, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَ أَرْبَعًا بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
“Barang siapa shalat sunah empat rakaat sebelum zhuhur dan empat rakaat sesudahnya maka Allah akan mengharamkanya untuk masuk neraka.“
Shalat sunnah jum’at sama seperti shalat sunnah untuk shalat zhuhur, seperti diterangkan di atas, karena shalat jum’at adalah pengganti shalat zhuhur. Sebagaimana pula diriwayatkan dalam hadits riwayat Muslim (881) dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
“Apabila seseorang dari kalian selesai shalat jum’at, hendaklah ia shalat sunnah empat rakaat sesudahnya.“
Imam Tirmidzi (523) meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat jum’at dan empat rakaat sesudahnya.
Secara zhahir, ia melakukan ini berdasarkan tuntunan syariat, yakni ia mengetahuinya dari perbuatan Nabi saw.

Empat rakaat sebelum ashar
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (430) dan dia menghasankannya dari Ibnu Umar, ia menyatakan bahwa Nabi saw bersabda:
رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ اْلعَصْرِ أَرْبَعًا
“Semoga Allah mengasihi orang yang shalat sunnah empat rakaat sebelum ashar.”
Empat rakaat itu dilakukan dua rakaat-dua rakaat sebagaimana dijelaskan hadits Tirmidzi (429) dan lain-lain dari Ali ra bahwa Nabi saw shalat sunnah empat rakaat sebelum ashar, Beliau memisahkannya antara dua rakaat dengan salam.

Dua rakaat setelah magrib
Imam Bukhari (1126) dan Muslim (729) meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia menyatakan “Aku menghafal 10 rakaat shalat sunnah dari Nabi saw, yakni dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah magrib di rumah Beliau, dua rakaat setelah isya di rumah Beliau dan dua rakaat sebelum subuh, itu adalah waktu-waktu yang tidak selayaknya untuk bertamu kepada Beliau saw."
Sepuluh rakaat yang dipaparkan dalam hadits ini lebih kuat kesunahannya (sunnah muakkad) dibandingkan yang lainnya, sementara dalil kesunahan yang lain adalah beberapa hadits yang telah dan akan disebutkan nanti.

Disunnahkan juga shalat dua rakaat ringan, dengan tidak memperpanjang bacaan sebelum magrib, sebagaimana diungkapkan dalam riwayat Bukhari (599) dan Muslim (837) dari Anas ra, ia berkata,”Ketika kami di Madinah, jika muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat magrib, orang-orang bergegas menuju tiang-tiang masjid (menyusun barisan) dan menunaikan shalat sunnah dua rakaat, sehingga apabila ada orang asing yang masuk masjid, ia akan menyangka bahwa shalat berjamaah telah dilaksanakan, mengingat banyaknya orang yang mengerjakannya."
Disunnahkan pula shalat dua rakaat ringan sebelum isya, seperti dimuat dalam hadits riwayat Bukhari (601) dan Muslim (838) dari Abdullah bin Mufadhdhal ra, ia menyatakan bahwa Nabi saw bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَنَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَنَيْنِ صَلاَةٌ ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ
“Disetiap antara adzan dan iqamah ada shalat disetiap antara adzan dan iqomah ada shalat.” Lalu Beliau berkata untuk ketiga kalinya,”Bagi yang menghendaki.”

Tiga rakaat setelah isya’ termasuk satu rakaat witir.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar ra yang terdahulu dan hadits riwayat muslim (752) dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda”
الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ أَخِرِ اللَّيْلِ
“Witir adalah satu rakat diakhir malam.”
Satu rakaat adalah bilangan witir yang paling kecil, ukuran sedangnya adalah tiga rakaat dan paling banyak sebelas rakaat.
Dalam hadits lain Bukhari (1071), Muslim (736) - dan ini redaksinya – dan lain-lain dari Aisyah ra, ia menyatakan "Rasulullah saw shalat di antara shalat isya’ dan shalat subuh sebanyak sebelas rakaat, Beliau membaca salam pada setiap dua rakaat dan menunaikan witir sebanyak satu rakaat. Apabila muadzin telah selesai mengumandangkan shalat subuh dan fajar telah tampak, dan muadzin datang menemui Beliau maka Beliau shalat sunnah dua rakaat ringan lalu tidur berbaring pada posisi lambungnya yang sebelah kanan sampai muadzin datang kembali menghampirinya untuk mengumandangkan iqamat.
Shalat sunnah dua rakaat ringan disini adalah shalat sunnah sebelum subuh.
Abu Dawud (1422) dan lain-lain meriwayatkan dari Abi Ayyub ra, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَل
“Shalat witir itu haq (disyariatkan dan dianjurkan). Barang siapa yang yang menyukai untuk melakukan witir sebanyak lima rakaat maka lakukanlah, barang siapa ingin melakukan sebanyak tiga rakaat maka lakukanlah dan barang siapa menyukai untuk mengerjakan satu rakaat maka lakukanlah.”

Tiga Shalat sunnah yang sangat dianjurkan
Ketiga shalat sunnah ini sangat dianjurkan setelah shalat-shalat sunnah yang dilakukan secara berjamaah dan shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardhu.
1. Shalat Malam (Qiyamul Lail)
Muslim (1163) dan lain-lain meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menyatakan bahwa Rasululah saw ditanya “Shalat apakah yang lebih utama setelah shalat fardhu?", Nabi saw menjawab, “Shalat di tengah malam.”
Shalat ini dinamakan Qiyamul lail atau tahajud, karena dikerjakan setelah bangun tidur. Allah Ta'ala berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” (QS. Al-Isra’:79)
Secara bahasa tahajud artinya ”utrukul juhud” yakni tinggalkanlah tidur, bangun, shalat dan bacalah Al-Qur’an.”

2. Shalat Dhuha
Bukhari (1880) dan Muslim (721) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menyatakan ”Kekasihku (Rasulullah saw) mewasiatkanku tiga perkara; puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum aku tidur.”
Bilangan paling sedikit shalat dhuha adalah dua rakaat, sebagaimana diungkapkan pada hadits di atas dan paling banyak delapan rakaat, seperti yang diuraikan dalam hadits riwayat Bukhari (350), Muslim (336) -dan ini redaksi Muslim – dari Ummu Hani’ ra bahwasanya ketika peristiwa penaklukkan kota Mekkah, ia menemui Rasulullah saw yang sedang berada di atas Mekah, Rasulullah saw saat itu hendak mandi, maka Fatimah membuatkan tabir untuk Beliau, setelah itu Beliau mengambil pakaian dan mengenakannya lalu mengerjakan shalat sunnah dhuha sebanyak delapan rakaat.”

Yang lebih baik adalah melaksanakan shalat sunah dhuha dengan dipisahkan dua rakaat-dua rakaat, seperti yang diterangkan oleh Abu Dawud(1290) dari Ummu Hani’ ra, bahwasanya Rasulullah saw shalat dhuha sebanyak delapan rakaat pada waktu peristiwa penaklukkan kota Mekkah. Beliau membaca salam setiap rampung dua rakaat.
Waktu shalat dhuha bermula dari naiknya matahari sampai tergelincir. Yang lebih utama (afdhal) adalah melaksanakannya setelah lewat seperempat siang.
Imam Muslim (748) dan lain-lain meriwayatkan dari Zaid bin Arqam ra, ia berkata ”Nabi mengunjungi penduduk Quba, saat itu mereka sedang mengerjakan shalat dhuha, maka Nabi saw bersabda:
صَلاَةُ اْْلأَوَّبِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ اْلفِصَالُ مِنَ الضُّحَى
”Shalat Awwabin[1] (dhuha) dikerjakan ketika anak-anak unta mulai merasa kepanasan karena waktu dhuha.”

3. Shalat Tarawih
Shalat ini dinamakan juga shalat qiyamul Ramadhan, jumlahnya dua puluh rakaat, dikerjakan setiap malam bulan ramadhan, dua rakaat–dua rakaat, waktunya antara shalat isya dan shalat subuh, dilaksanakan sebelum shalat witir.
Imam Bukhari (37), Muslim (759) dan lain-lain, meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
”Barang siapa melaksanakan shalat (tarawih) pada bulan ramadhan karena iman dan mengharapkan ridha Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”
Imam Bukhari (802), Muslim (761) – dan ini redaksi Muslim- meriwayatkan dari Aisyah ra, ia menyatakan bahwasanya suatu hari (di bulan Ramadhan), Nabi saw shalat (tarawih) di mesjid, maka orang-orang berdatangan untuk bermakmum kepada Beliau, pada malam berikutnya orang-orang yang berdatangan semakin banyak, dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul lagi menunggu Beliau namun Beliau tidak keluar untuk mengimami mereka. Keesokan harinya, Beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
”Aku telah melihat apa yang kalian lakukan (berkumpul dan menunggu aku untuk mengimami shalat), tidak ada yang mencegahku untuk keluar kepada kalian kecuali aku khawatir jika saja shalat itu diwajibkan atas kalian.”
Imam Bukhari (1906) meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qari, ia berkata: ”Aku keluar bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Di sana kami melihat orang-orang shalat secara terpisah-pisah. Ada yang shalat sendirian, ada yang shalat dan dibelakangnya berkumpul beberapa makmun (dan sebagainya). Melihat itu Umar berkata, ”Menurutku, seandainya saja aku mengumpulkan mereka semua untuk shalat bersama seorang imam, niscaya akan lebih baik. Lalu Beliau berupaya menghimpun mereka pada Ubay bin Ka'ab. Pada malam berikutnya, aku keluar bersama Beliau menuju masjid dan melihat orang-orang telah shalat dibelakang satu imam saja, maka Umar berkata: "ini adalah sebaik-baik bid’ah1".
Orang-orang yang tidur setelah shalat tarawih lebih baik dari orang-orang yang melakukannya di akhir malam, dan orang-orang mengerjakannya pada permulaan malam.
Imam Baihaqi (2/996) dan lain-lain meriwayatkan dengan sanad shahih bahwasanya para sahabat pada zaman Umar bin Khattab mengerjakan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat.
Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Al-Muwatha' (1/115) bahwasanya kaum muslimin pada masa Umar bin Khattab melaksanakan shalat tarawih sebanyak dua puluh tiga rakaat. Baihaqi memaknai bahwa tiga rakaat terakhir adalah shalat witir.



SYARAT SAH SHALAT
1. Suci badan dari hadats kecil, hadats besar dan najis.
Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah.". (Al-Maidah:6)
Yang menerangkan perintah Nabi saw untuk senantiasa membersihkan najis adalah seperti sabda Beliau kepada Fatimah binti Abi Hubays:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِي الصَّلاَةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِي الدَّمَ عَنْكِ وَصَلِّي

”Apabila masa haidmu tiba maka tinggalkanlah shalat, tapi, jika masa haid telah berakhir, maka bersihkanlah darah (istihadhah) yang ada pada tubuhmu dan shalatlah”
Juga perintah Beliau kepada Ali ra untuk membasuh air madzi sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu. Dan diqiyaskan dengan anjuran untuk selalu menjaga kebersihan pakaian yang diperintahkan Allah dalam firmannya:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan perbuatan dosa tinggalkanlah." (Al-Muddatsir : 5)

2. Menutup aurat dengan pakaian yang suci
Allah Ta'ala berfirman:
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوْا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid." (Al-A’raf: 31)
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa maksud ayat di atas adalah pakaian-pakaian ketika shalat. (kitab Mughni Al-Muhtaj: 1/184)
Imam Tirmidzi (377) meriwayatkan dan Beliau menghasankannya dari Aisyah ra, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ
”Tidak diterima shalat wanita yang sudah baligh kecuali dengan mengenakan kerudung.”
”Khimar” atau kerudung adalah pakaian yang digunakan wanita untuk menutup kepala. Apabila hukum menutup kepala saja wajib, tentu menutup anggota tubuh yang lain lebih utama. Hal ini dipertegas oleh hadits riwayat Bukhari (365) dari Aisyah ra, ia berkata, "Dahulu, saat Rasulullah saw shalat subuh (di masjid), beberapa wanita mukminat ikut berjamaah bersama belaiu, mereka menyelimuti seluruh tubuh mereka dengan kain-kain seraya berjalan dengan langkah cepat, sehingga ketika pulang tidak ada seorangpun yang mengenali mereka.”
Dalil yang menerangkan bahwa pakaian yang dikenakan harus suci adalah firman Allah Ta'ala:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu bersihkanlah." (AL-Muddatsir : 5)
Abu Dawud(365) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Khaulah binti Yasar datang menemui Nabi saw seraya berkata,“Ya Rasulullah, saya hanya memiliki satu helai baju, sementara saya mengalami haid pada baju tersebut, apa yang harus saya lakukan?" Nabi menjawab:
إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِي ثُمَّ صَلِّي فِيْهِ
"Apabila kamu suci (dari haid) maka cucilah kain itu dan shalatlah dengan mengenakannya.”
Ia bertanya lagi, “Bagaimana bila (bekas) darah itu sulit dibersihkan?" Nabi menjawab, “Kamu cukup membersihkan darahnya, dan tidak apa-apa dengan bekas yang tersisa.“

3. Shalat di tempat yang suci
Hal ini diterangkan dalam hadits Nabi saw tentang perintah Beliau untuk menyiramkan seember air pada kencing seorang arab badui di masjid, juga diqiyaskan dengan kewajiban menjaga kesucian pakaian.

4. Mengetahui bahwa waktu shalat telah masuk.
Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
”Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nissa:103)
5. Menghadap kiblat
Allah berfirman:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram." (Al-Baqarah : 144)
Imam Bukhari (5897) dan Muslim (397) meriwayatkan perihal hadits seseorang yang mengerjakan shalat dengan cara yang tidak baik.
Bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Apabila engkau hendak shalat, maka wudhulah dengan sebaik mungkin, lalu menghadaplah ke arah kiblat.”
Yang dimaksud dengan “Masjidil Haram” pada ayat di atas dan “Kiblat” pada hadits sesudahnya adalah ke arah Ka’bah.
Imam Bukhari (390) dan Muslim (525) meriwayatkan dari Al-Bara’ bin ‘Azib ra, ia menyatakan,”Rasulullah (shalat) menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, namun Beliau (lebih) menyukai untuk menghadap ke arah Ka’bah, maka Allah menurunkan firmannya:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit." (Al-Baqarah: 144)
Maka setelah itu Beliaupun shalat dengan menghadap Ka’bah.

v Boleh mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat dalam dua kondisi,
Dalam kondisi genting, baik disebabkan perang atau alasan lain yang diperbolehkan, karena Allah Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.". (Al-Baqarah : 239)
Yakni, apabila kondisi tidak mendukung untuk mengerjakan shalat dengan sempurna, baik karena takut bahaya dan sebagainya, maka shalatlah dengan cara yang dapat Anda lakukan. Baik dengan cara berjalan kaki, ataupun menunggang kendaraan. Ibnu Umar ra menambahkan, “Maksudnya, sambil menghadap kiblat atau tidak.“ Nafi’ mengomentari pernyataan Ibnu Umar ra tersebut, “Menurutku, pernyataan Ibnu Umar tersebut tentu berasal dari Rasulullah saw.”

Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan.
Imam Bukhari (391) meriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, "Rasulullah saw shalat di atas kendaraannya dengan menghadap ke mana saja.“ Dalam suatu riwayat, “menghadap timur” apabila hendak mengerjakan shalat fardhu, beliau turun dan menghadap kiblat.
Dalam riwayat lain, Bukhari (1045) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwasanya Rasulullah saw shalat dalam perjalanan ...dan seterusnya.

Rukun Shalat
Rukun shalat ada delapan belas perkara:
1. Niat
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala”
وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
Imam Al-Mawardi menuturkan “Memurnikan ketaatan artinya niat ikhlas (karena Allah)."
Dan hadits Rasulullah saw yang berbunyi:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niat”
2. Berdiri Jika Mampu
Imam Bukhari (1066) meriwayatkan dari Imran bin Hushain ra, ia berkata, “Aku menderita penyakit bawasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang tata cara shalat, Beliau menjawab:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah sambil berdiri, bila tidak sanggup, maka shalatlah sambil duduk, bila tidak sanggup juga, maka shalatlah sambil berbaring.”
Imam Nasai menambahkan,
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِياً لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Bila tidak sanggup juga, maka shalatlah sambil terlentang, sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya”(Kitab Kifayatul Akhyar : 1/103)
3. Takbiratul Ihram.
Membaca Al-Fatihah, termasuk Bismillahirahmanirahim didalamnya.
Ruku’.
Tuma’ninah dalam mengerjakannya.
I’tidal (berdiri tegak) setelah ruku’.
Tuma’ninah dalam mengerjakannya.
Sujud.
Tuma’ninah dalam mengerjakannya.
Duduk di antara dua sujud.
Tuma’ninah dalam melaksanakannya.

Dalil rukun-rukun yang telah disebutkan sampai disini adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari (724) dan Muslim (397) dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw masuk masjid. Sesaat kemudian ada seseorang lelaki masuk masjid juga dan shalat lalu datang menemui Beliau seraya mengucapkan salam. Nabi saw membalas salamnya dan bersabda “Kembalilah dan ulangi shalatmu, sesungguhnya engkau belum shalat (dengan sempurna), maka orang tersebut pun shalat, lalu datang menemui Nabi saw seraya mengucapkan salam. Nabi menjawab: "Kembalilah dan ulangi shalatmu, sesungguhnya engkau belum shalat (dengan sempurna)."
Peristiwa ini berulang tiga kali, sampai laki-laki tersebut berkata:”Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya aku tidak bisa shalat lebih baik dari yang tadi kulakukan, maka ajarilah aku!”
Nabi saw menjawab:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
“Apabila engkau hendak shalat, maka ucapkanlah takbiratul ihram, lalu bacalah sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu, lalu ruku’lah sampai engkau merasa tuma’ninah (tenang), kemudian berdirilah dengan tegak, lalu sujudlah sampai engkau merasa tuma’ninah (tenang) kemudian duduklah dengan tegak sampai engkau merasa tuma’ninah, lalu sujudlah sampai engkau merasa tuma’ninah, kemudian lakukanlah demikian di seluruh rangkaian shalatmu!”
Para ulama menyebut hadits ini dengan nama hadits orang yang mengerjakan shalat dengan tidak baik (khabar Al-Musi’ shalatahu)
Yang dimaksud dengan “Bacalah sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu” adalah perintah membaca Al-Fatihah”.
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam hadits lain:
ثُمَّ اْقرَأْ بِأُمِّ اْلقُرْاَنِ
“Lalu bacalah ummul Qur’an (Al-Fatihah)."
Hal ini diperkuat oleh hadits riwayat Bukhari (723) dan Muslim (394) :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ اْلكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang dilakukan tanpa membaca surat Al-Fatihah”
Sedangkan yang menunjukkan bahwa “Basmalah” termasuk di dalam salah satu ayat Al-Fatihah dan ayat setiap permulaan surat-surat Al-Qur’an adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (400) dari Anas ra, ia berkata,
"Suatu hari, ketika Rasulullah saw ada di tengah-tengah kami, tiba-tiba Beliau mengantuk dan tertidur sejenak, lalu Beliau mengangkat kepalanya seraya tersenyum, melihat itu, kami bertanya “ Ada apa gerangan yang membuat Anda tersenyum, ya Rasulullah? ”Beliau menjawab, “Barusan satu surat Al-Qur’an diturunkan kepadaku, lalu membaca,
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sebuah sungai di surga…."
Rasululah menghitung Basmalah sebagai salah satu ayat dari surat Al-Kautsar.

Duduk pada rakaat terakhir.
Membaca tasyahud di dalamnya.
Imam Bukhari (9794) meriwayatkan dari Abu Humaid As-Sa’idi ra, mengenai sifat shalat Nabi saw, ia berkata, “Apabila sedang duduk di rakaat terakhir, Nabi saw mengedepankan kaki kiri dan menegakkan (telapak kaki lainnya serta langsung duduk di atas tempat duduk (lantai)."
Karena cara duduk ini adalah tempat membaca zikir yang wajib sebagaimana nanti akan diterangkan, maka ia menjadi wajib seperti wajibnya berdiri ketika membaca surat Al-Fatihah.
Imam Bukhari (5806), Muslim (402) dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia menyatakan, “Awalnya setiap kami shalat di belakang Nabi saw kami membaca -sedangkan dalam riwayat Baihaqi (2/138) dan Daruquthni (1/350) “Sebelum tasyahud diwajibkan kepada kami, kami membaca,
السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ قَبْلَ عِبَادِهِ السَّلاَمُ عَلَى جِبْرِيلَ السَّلاَمُ عَلَى مِيكَائِيلَ السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ
"Kesejahteraan adalah milik Allah swt sebelum hamba-hamba-Nya, semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada malaikat Jibril, Mikail, semoga kesejahteraan dicurahkan kepada fulan……."
Maka, selesai shalat Rasulullah saw menengok kepada kami seraya bersabda:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلاَمُ فَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ...
“Sesungguhnya Allah adalah As-Salam1 (Ilah Yang Maha Sejahtera), untuk itu, apabila seorang diantara kalian bertasyahud dalam shalat, bacalah “At-tahiyaatulillah….”
Berkenaan bacaan yang diucapkan saat tasyahud akhir, ada banyak riwayat yang menerangkannya, dan semuanya shahih. Sedangkan kalimat tasyahud yang dipilih Imam Syafi’i ra adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim (403) dan lain-lain dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Rasulullah mengajari kami kalimat tasyahud seperti mengajari kami bacaan surat dalam Al-Qur’an”, Beliau bersabda:
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“Segala salam, keberkahan, shalawat dan kebaikan adalah milik Allah. Semoga keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan selalu dilimpahkan Allah bagimu wahai Nabi. Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi Muhammad saw utusan Allah.”
Membaca shalawat untuk nabi saw
Allah Ta'ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab : 56)

Para ulama ijma’ (sepakat) bahwasanya mambaca shalawat tidak wajib di luar shalat, maka ayat ini mengisyaratkan bahwa ia wajib dibaca ketika shalat. Ibnu Hibban (515), Hakim (1/2687 -dan dia menshahihkannya –meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, tentang tata cara shalawat kepada nabi saw, ia berkata, ”ya Rasulullah, bagaimana kami bershalawat kepadamu, ketika kami harus membaca shalawat di dalam shalat kami”? . Beliau menjawab, “bacalah…“.
Hadis ini menerangkan bahwa tempat yang diperintahkan (wajib) membaca shalawat adalah ketika shalat dan yang paling sesuai adalah membacanya di akhir shalat, maka ia wajib pada saat duduk terakhir setelah membaca tasyahud.
Lafal shalawat yang sempurna adalah :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Allah, berilah salam sejahtera kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana engkau memberi salam sejahtera kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Berkahilah Nabi Muhammad, dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau memberkahi Nabi Ibrahim beserta keluarga Nabi Ibrahim. Dalam seluruh alam, Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia”.
Lafal shalawat ini tertera dalam hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan lain-lain. Dalam sebagian riwayat ada penambahan dan pengurangan.
Membaca salam yang pertama.
Muslim (498) meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah memulai shalat dengan membaca takbir... dan menutupnya dengan mengucapkan salam.
Niat keluar dari rangkaian shalat.
Pendapat yang paling kuat menyebutkan bahwa hal tersebut bukanlah termasuk rukun shalat, akan tetapi sunnah, untuk menjaga khilaf dengan yang berpendapat dengan bahwa hal tersebut rukun.
Mengerjakan rukun-rukun tersebut secara berurutan.
Hal ini dikuatkan oleh hadits tentang seorang yang mengerjakan shalat dengan tidak baik (khabar Al-Musi’ Shalatahu), dimana disebutkan bahwa Rasulullah saw selalu menyatakan dengan kata ”kemudian.... ” yang berarti tertib, ditambah kenyataan bahwa nabi saw selalu mengerjakan rukun-rukun tersebut secara berurutan sebagaimana diuraikan dalam hadits-hadits shahih.

Sunnah-sunnah sebelum shalat.
1. Adzan
2. Iqamat
Dua perkara ini dilakukan untuk shalat-shalat fardhu. Dalil yang menerangkan bahwa hal ini disyariatkan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (602) dan Muslim (674) dari Malik bin Al-Huwairits ra bahwa Rasululalh saw bersabda,
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُأَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
”Apabila waktu shalat telah tiba, hendaklah seseorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan hendaklah seseorang paling tua diantara kalian menjadi imam.”
Sementara Abu Daud (499) meriwayatkan dari Hadits Abdullah bin Zaid ra:
وَ قُلْتَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

”Bila engkau hendak mendirikan shalat, ucapkanlah: Allahu akbar, Allahu Akbar....”
Lafadz adzan adalah :
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
”Allah Maha besar (4x), aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah (2x), aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah (2x), marilah kita shalat (2x), marilah kita menuju kemenangan (2x), Allah maha besar (2x), tiada ilah yang berhak disembah selain Allah. ”
Sedangkan dalam adzan subuh ditambah kalimat :
الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
”Shalat itu lebih utama daripada tidur, shalat itu lebih utama daripada tidur.”
Diucapkan setelah ”hayya ’alal falah” yang kedua.
Sementara lafal iqomat adalah:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلاَةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Lafal-lafal tersebut tertera dalam hadits-hadits shahih riwayat Bukhari Muslim, dan lain-lain. Seorang yang mendengar adzan disunnahkan untuk mengucapkan seperti yang dikumandangkan muadzin. Apabila adzan telah rampung, ia dianjurkan membaca shalawat kepada Nabi saw dan berdoa seperti doa yang terdapat dalam hadits-hadits shahih.
Imam Muslim (384) dan lain-lain meriwayatkan dari Abdullah bin ’Amr ra, ia mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Apabila kalian mendengar muadzin mengumandangkan adzan, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan, lalu bacalah shalawat untukku, karena barang siapa membaca shalawat untukku satu kali, Allah akan mengucapkan shalawat untuknya sepuluh kali, kemudian mintalah wasilah untukku karena itu adalah sebuah derajat di surga yang tidak diberikan kecuali kepada seorang hamba Allah. Aku berharap akulah hamba tersebut, barangsiapa memintakan wasilah kepada Allah untukku, ia berhak mendapat syafaatku."
Imam Bukhari (589) dan lain-lain meriwayatkan dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Barang siapa setelah mendengarkan adzan mengucapkan ”Allahurobba hadzihid da’watitaammah.....(Ya Allah pemilik seruan yang sempurna1 dan shalat yang didirikan ini, anugerahkanlah wasilah dan keutamaan[2] kepada Nabi Muhammad saw, dan bangkitkanlah dia pada kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan[3], maka ia berhak mendapatkan syafaatku kelak di hari kiamat.”
Shalawat dan doa setelah adzan juga disunnahkan bagi muadzin yang telah mengumandangkan adzan. Ia membacanya dengan suara yang lebih rendah dari lafadz adzan dan terpisah, agar orang tidak mengira bahwa doa itu bagian dari adzan.

v Khusus untuk lafadz ”Hayya Alsh-sholah” dan ”Hayya ’alal falah”, orang yang mendengarkan disunnahkan membaca ”Laa haula walaa quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah swt)". Hal ini diriwayatkan oleh Bukhari (588) dan Muslim (385), dan lain-lain.
v Sementara lafal ”Ash-shalatu khairumminan naum”, orang yang mendengarkan dianjurkan membaca ”Shadaqta wa barrarta” (Engkau Mahabenar dan lagi Maha indah)
v Disunnahkan juga bagi orang yang mendengar iqamat, ketika selesai untuk mengucapkan seperti yang diucapkan ketika adzan, kecuali pada saat ”Qod qaamatish-shalah”, pendengar dianjurkan membaca ”Aqamahallahu wa adaamaha (semoga Allah selalu mendirikan dan melanggengkan shalat)."
Masalah ini disinggung dalam hadits riwayat Abu Daud (528).


Sunnah-sunnah ketika shalat:
1. Tasyahud awal.
Ittiba’ (mengikuti) yang telah sama-sama diketahui dalam hadits-hadits shahih, seperti hadits Bukhari (1167) bahwasanya Rasulullah saw berdiri setelah dua rakaat pada waktu shalat zhuhur, Beliau tidak duduk (tasyahud awal), setelah rampung dari shalat, Beliau mengerjakan sujud (sahwi) dua kali lalu membaca salam.
Sujud Beliau karena meninggalkannya disebabkan lupa, menunjukkan bahwa tasyahud awal itu adalah sunnah (tidak wajib).
2. Qunut pada shalat subuh, dan shalat witir dipertengahan bulan ramadhan yang terakhir.
Imam Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa apabila Rasulullah saw mengangkat kepala Beliau dari ruku’ pada waktu shalat subuh, dalam rakaat kedua, Beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa dengan doa berikut,
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ...
”Ya Allah, tunjukkilah aku seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk...” (Kitab Mughni Al-Muhtaj:1/166)
Abu Daud (1425) meriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali ra, ia meriwayatkan, ”Rasulullah saw mengajariku beberapa kalimat yang aku baca pada saat shalat witir:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَيَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
”Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang Engkau beri petunjuk, berilah aku keselamatan seperti orang-orang yang Engkau beri keselamatan. Berilah aku pertolongan seperti orang-orang yang Engkau berikan pertolongan, berilah aku berkah pada setiap anugerah yang Engkau berikan. Lindungilah aku dari kejahatan takdir yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkaulah yang mengakhiri dan tidak ada yang berhak mengakhiri-Mu, tidak akan terhina orang yang setia kepada-Mu. Dan tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu. Sungguh Mahasuci Engkau dan Mahatinggi, wahai Tuhan kami. Tirmidzi (464) menyatakan bahwa hadits ini hasan dan ia berkata, ”Kami tidak menemukan hadits dari Nabi saw tentang masalah qunut pada shalat witir yang lebih bagus dari hadits ini."

Abu Daud (1428) meriwayatkan bahwasanya Ubay bin Ka’ab ra mengimani para sahabat. Dan, pada bulan Ramadhan Beliau membaca qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Perbuatan shahabat adalah hujjah selama tidak ada yang mengingkari.

Sunah Fi’liyah dalam shalat (Sunah Hai'ah)
Sunah-sunah fi’liyah
Sunnah-sunah fi’liyah (tata cara dalam shalat) ada lima belas:
Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, hendak ruku dan bangun dari ruku’.
Imam Bukhari (705) dan Muslim (390) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah saw memulai shalat dengan takbir, Beliau mengangkat kedua tanganya ketika takbir sehinggga setinggi kedua pundaknya, apabila membaca takbir untuk ruku’ Beliau melakukan seperti itu, dan apabila mengucapkan "Sami’allahu liman hamidah”, Beliau melakukan seperti itu dan membaca ”Robbana wa lakal hamdu” Beliau tidak mengangkat tangannya ketika hendak sujud, dan tidak juga ketika bangkit dari sujud.”
Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.
Imam Muslim (401) meriwayatkan dari Wail bin Hijr ra, bahwasanya ia melihat Nabi saw mengangkat kedua tangan ketika memulai shalat, lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri”.
Membaca doa iftitah.
Imam Muslim (771) meriwayatkan dari Ali ra, bahwasanya apabila Rasulullah saw shalat, Beliau mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ
”Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus (ikhlas). Aku tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku disuruh dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Membaca ta’awwudz.
Allah Ta'ala berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
"Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk". (An-Nahl:98)
Mengeraskan suara di waktu-waktu shalat yang dianjurkan untuk dikeraskan dan merendahkan suara pada waktu-waktu shalat yang dianjurkan untuk direndahkan.
Dikeraskan pada saat shalat subuh, dua rakaat pertama shalat magrib dan isya, shalat jum’at, shalat idul fitri dan idul adha, shalat gerhana bulan, shalat istisqa’, shalat tarawih dan witir bulan ramadhan dua, rakaat thawaf pada malam hari dan waktu subuh. Masalah ini akan diuraikan pada pembahasan yang akan datang.
Adapun shalat sunnah mutlaq yang dilakukan tengah malam, dilakukan dengan suara sedang, antara keras dan pelan. Allah Ta'ala berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً
"Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu".(Al-Isra’:110)
Maksud shalat mutlaq di atas adalah shalat malam (qiyamullail). Sedangkan selain yang disebutkan tadi, dibaca secara pelan tanpa mengeraskan suara.
Masalah ini diterangkan lebih lanjut dalam:
- Hadits riwayat Bukhari (735) dan Muslim (463) dari Jubair bin Muth’im ra, ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat ”At-tini waz zaitun” pada saat shalat isya, ”Aku belum pernah mendengar seseorang yang lebih bagus bacaannya dibanding Beliau.”
- Hadits riwayat Bukhari (739) dan Muslim (449) dari Ibnu Abbas ra, tentang kedatangan jin yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang sedang dilantunkan oleh Nabi saw. Dalam hadits tersebut dikatakan:
وَهُوَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ صَلاَةَ اْلفَجْرِ, فَلَمَّا سَمِعُوا اْلقُرْاَنَ اسْتَمِعُوْا
”Nabi saw shalat subuh bersama para sahabatnya, ketika mereka (para jin) mendengarkan bacaan Beliau, mereka mendengarkannya dengan seksama”.
Hadits-hadits ini menerangkan bahwa Nabi saw mengeraskan bacaannya, sehingga dapat didengar oleh para sahabat yang hadir.
Sementara dalil-dalil yang menyebutkan bahwa Nabi saw membaca dengan suara pelan pada tempat yang lain adalah:
- Hadits riwayat Bukhari (713) dari Khabbab ra, ia ditanya oleh seseorang, ”Apakah Rasulullah saw membaca (Al-Fatihah) ketika shalat zhuhur dan ashar?”Ia menjawab, ”Ya”, kami semua bertanya, ”Bagaimana kalian mengetahuinya?” Ia menjawab, ” dari gerakan janggutnya”.
- Hadits riwayat Bukhari (738) dan Muslim (396) dari Abu Hurairah ra, ia berkata, ”Di setiap rakaat disyariatkan membaca (Al-Fatihah). Apa-apa yang Rasulullah saw perdengarkan kepada kami dengan suara keras, kami memperdengarkannya kepada kalian. Apa-apa yang Rasulullah samarkan (pelankan) kepada kami, kami menyamarkannya kepada kalian”.
Para shahabat tidak pernah mengajarkan bacaan keras selain pada tempat-tempat yang telah kami sebutkan.
Membaca ”Amin”.
Abu Daud (934) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menyatakan, ”Apabila Rasulullah saw membaca ”Ghairil maghdhuubi alaihim waladh dhaalliin”, Beliau membaca ”Amin” sehingga makmum yang berada di shaff pertama mendengar suaranya.
Ibnu Majah (853) menambahkan, ”Maka masjid menjadi bergemuruh (dengan suara amin)."
Membaca ”amin” juga disunahkan untuk makmum, bacaannya mengiring bacaan ”amin” imam. Imam Bukhari (739) dan Muslim (410) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا قَالَ اْلإِمَامُ { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ }
فَقُولُوْا آمِينَ فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
”Apabila imam membaca ”Ghairil maghdhubi alaihim waladh dhaalliin”, maka ucapkanlah ”amin”. Barang siapa yang bacaan (amin) nya bertepatan dengan bacaan (amin) malaikat, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.
Sedangkan dalam riwayat Abu Daud(936) disebutkan, ”Apabila imam membaca ”amiin” maka ucapkanlah ”Aamiin..”.
Membaca surat setelah Al-fatihah.
Yakni pada dua rakaat pertama, dalilnya, hadits yang diriwayatkan Bukhari (745) dan Muslim (451) dari Abu Qatadah ra, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ مَعَهَا فِي الرَّكْعَتَيْنِ اْلأُوْلَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ
”Nabi saw membaca surat Al-Fatihah diiringi surat lain, pada dua rakaat pertama shalat zhuhur dan ashar”.
Dalam riwayat lain disebutkan ”Rasul juga melakukan ini pada saat shalat subuh.” dikuatkan pula dengan hadits-hadits sebelumnya tentang masalah mengeraskan suara dalam shalat.
v Pada shalat yang diperintahkan membaca keras, makmum tidak membaca selain sunat Al-Fatihah. Hal ini ditegaskan dalam hadits riwayat Abu Daud (823-824), Nasai (2/141) dan lain-lain dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: "Kami shalat subuh di belakang Rasulullah saw, maka tiba-tiba ia merasa bacaannya terganggu,” ketika selesai, Beliau bersabda, ”Diantara kalian tadi ada yang membaca (surat) ketika imam membaca?” Kami menjawab, ”Benar ya Rasulullah” Beliau bersabda:
لاَ تَقْعَلُوْا إِلاَّ بِأُمِّ اْلقُرْاَنِ, فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
”Janganlah kalian melakukan itu kecuali ummul Qur’an (Al-Fatihah), karena tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya”.
Dalam hadits lain disebutkan
فَلاَ تَقْرَءُوْا بِشَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلاَّ بِأُمِّ الْقُرْآنِ

”Janganlah kalian membaca apapun dari Al-Qur’an selain Ummul Qur’an (Al-Fatihah), apabila aku mengeraskan suara dalam shalat”.
Mengucapkan takbir setiap mengubah gerakan shalat
Mengucapkan ”Samiallahu liman hamidah rabbana walakal hamdu”.
Mengucapkan tasbih ketika ruku’.
Mengucapkan tasbih ketika sujud.
Muslim (722) dan lain-lain meriwayatkan dari Hudzaifah ra, ia berkata, "Aku shalat bersama Nabi Saw pada suatu malam.....(lalu) Beliau ruku dan membaca, ”Subhana rabbiyal ’azhim....lalu sujud dan membaca ”subhaana rabbiyal a’laa.”
Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha ketika duduk, merenggangkan tangan kiri dan menggenggam yang kanan kecuali jari telunjuk ditegakkan untuk menunjuk dam membaca syahadah.
Muslim (580) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, tentang tata cara duduk Nabi saw, ia berkata ”Apabila Rasulullah saw duduk ketika shalat, Beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanan, menggenggam seluruh jari-jarinya dan memberi isyarat dengan jari telunjuk yang berdekatan dengan ibu jari. Beliau meletakkan telapak tangan yang kiri di atas paha kiri.
Duduk iftirasy di semua duduk shalat kecuali duduk terakhir.
Duduk Tawarruk pada duduk yang terakhir.
Imam Bukhari (794) meriwayatkan dari Abu Humaid As-Sa’idi ra, ia berkata, ”Aku adalah orang yang paling hafal tata cara shalat Rasulullah saw dibanding kalian....., dst. Ketika duduk pada dua rakaat pertama, beliau duduk di atas kaki kiri dan menegakkan (telapak) kaki kanan. Dan, ketika duduk pada rakaat terakhir, Beliau mengedepankan kaki kiri dan menegakkan (telapak) kaki lainnya, serta langsung duduk di atas tempat duduknya (lantai)."
Membaca Salam yang kedua.
Imam Muslim (582) meriwayatkan dari Sa’ad ra, ia berkata: ”Aku melihat Rasulullah saw melakukan salam ke kanan dan ke kiri hingga dapat melihat kulit pipinya yang putih.”
Abu Daud(996) dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, bahwasanya Nabi saw melakukan salam ke kanan dan ke kiri, hingga kelihatan kulit pipinya yang putih, Beliau membaca,
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
Imam Tirmidzi (295) berkata, ” Hadits Ibnu Mas’ud ini hasan shahih.”

Perbedaan shalat laki-laki dan perempuan
Shalat perempuan berbeda dengan salat laki-laki dalam lima hal:
Adapun shalat laki-laki:
1) Laki-laki merenggangkan kedua tangannya/sikunya dari lambung (ketika ruku’ dan sujud)
Imam Bukhari (383) dan Muslim (495) meriwayatkan dari Abdullah bin Malik bin Buhairah ra, ia menyatakan bahwasanya apabila Nabi saw shalat, Beliau merenggangkan kedua tangannya (dari pinggang), sehingga kelihatan warna putih ketiak Beliau.

Sedangkan Abu Daud (734) dan Tirmidzi (270) meriwayatkan dari Abu Humaid ra, ia berkata, ”Beliau merenggangkan kedua tangannya sejajar dari pinggang dan meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundak (ketika sujud)."

2) Mengangkat perutnya menjauh dari kedua paha pada saat ruku dan sujud.
Abu Daud(735) meriwayatkan dari Abu Humaid ra, tentang tata cara shalat Nabi saw, ia berkata:
وَ إِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ, غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ
”Ketika sujud, Beliau merenggangkan kedua pahanya, dan tidak membebankan perutnya (tidak mensandarkannya) pada kedua pahanya”.
3) Laki-laki mengeraskan suara pada shalat-shalat yang diperintahkan untuk mengeraskan suara.
4) Apabila terjadi kesalahan pada imam, makmum laki-laki membaca tasbih.
Imam Bukhari (625) dan Muslim (421) meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ رَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
”Barang siapa ragu dalam shalat (dan ingin mengingatkan imam) maka hendaklah ia membaca tasbih. Karena, apabila ia membaca tasbih, ia akan diperhatikan. Dan, sesungguhnya tepuk tangan (untuk mengiatkan imam) itu untuk wanita”.
5) Aurat laki-laki adalah antara pusar dan kedua lutut.
Imam Ad-Daruquthni (1/231), dan Baihaqi (2/229) meriwayatkan secara marfu’:
مَا فَوْقَ الرُّكْبَتَيْنِ مِنَ الْعَوْرَةِ وَمَا أَسْفَلَ مِنَ السُّرَّةِ مِنَ الْعَوْرَةِ
”Bagian tubuh yang di atas kedua lutut adalah aurat dan bagian tubuh yang di bawah pusar adalah aurat”.
Imam Bukhari (346) meriwayatkan dari Jabir ra, bahwasanya ia shalat dengan mengenakan satu lembar pakaian. Lalu berkata, "Aku melihat Rasulullah saw shalat dengan mengenakan satu lembar pakaian.”
Dalam redaksi lain (345), "Jabir ra shalat dengan mengenakan sarung yang telah ia ikatkan dari atas tengkuknya.”

Sementara shalat perempuan:
1 Mereka merapatkan satu anggota tubuh pada tubuh yang lain (saat rukuk dan sujud).
Imam Baihaqi (2/223) meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw melewati dua orang wanita yang sedang shalat, melihat itu, Rasulullah bersabda:
إذا سجد تما
”Apabila kalian berdua sujud, maka rapatkanlah sebagian daging (tubuh) ke tanah, karena sesungguhnya wanita berbeda dalam masalah ini dengan laki-laki”.
2 Perempuan merendahkan suaranya di hadapan laki-laki asing, untuk menghindari fitnah. Allah Ta'ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
”Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya”.(Al-Ahzab:32)
Ayat ini menerangkan bahwa suara wanita dapat menimbulkan fitnah, oleh karena itu, ia dituntut untuk merendahkan suara dihadapan lelaki asing (yang bukan mahram).
3 Apabila ingin mengingatkan imam, perempuan melakukannya dengan bertepuk tangan.
4 Seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan, kecuali budak wanita, ia seperti laki-laki1. Allah Ta'ala berfirman:
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
”Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” (An-Nur : 31)
Yang masyhur menurut pendapat jumhur, yang dimaksud dengan ”perhiasan” pada ayat di atas adalah tempat perhiasan, sedangkan yang dimaksud yang (biasa) tampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan.
Abu Daud(640) dan lain-lain meriwayatkan dari Ummu Salamah ra, ia bertanya kepada Rasulullah saw, ”Apakah seorang wanita boleh mengerjakan shalat dengan hanya mengenakan baju dan kerudung tanpa kain bawah? ”Rasul menjawab”
إِذَا كَانَ الدِّرُعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
”Boleh, selama bajunya panjang hingga menutup bagian luar kedua telapak kakinya."

Hal-hal yang membatalkan shalat:
1. Berbicara dengan sengaja
Imam Bukhari (4260) dan Muslim (539) meriwayatkan dari Zaid bin Arqam ra, ia berkata: "Awalnya, kami suka berbicara ketika shalat. Seorang di antara kami biasa mengajak bicara teman yang berdiri di sebelahnya ketika shalat. Kebiasaan itu berlanjut hingga turun ayat:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
”Peliharalah semua shalatmu dan (peliharalah) shalat wustha dan berdirilah karena Allah dengan khusyu'.’”(Al-Baqarah:238), sejak itu, kami diperintahkan untuk diam.
2. Banyak bergerak.
Karena hal ini bersebrangan dengan aturan shalat.
3. Hadats.
4. Terkena najis.
5. Tersingkapnya aurat.
6. Berubahnya niat.
Yakni, niat membatalkan diri dari shalat.
7. Membelakangi kiblat.
Karena lima perkara yang terakhir ini, menyalahi syarat sah shalat atau rukun-rukun shalat.
8. Makan.
9. Minum.
10. Tertawa yang mengeluarkan suara.
11. Murtad.

v Jumlah bilangan rakaat shalat fardhu seluruhnya ada 17 rakaat.
Hal itu mencakup 34 kali sujud, 94 takbir, 9 kali tasyahud, 10 kali mengucapkan salam, 153 kali tasbih.
v Sedangkan jumlah bilangan rukun shalat ada 126 rukun. Dalam shalat subuh 30 rukun, magrib 42 rukun dan pada semua shalat yang berjumlah 4 rakaat 54 rukun.
v Barangsiapa yang yang tak sanggup shalat fardhu dengan berdiri, maka bisa shalat sambil duduk, barang siapa tidak mampu duduk maka bisa shalat sambil berbaring.
Masalah ini diuraikan dalam hadits riwayat Imran bin Hushain ra:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْب
”Shalatlah sambil berdiri, bila tidak sanggup, maka shalatlah sambil berbaring.”(HR. Bukhari, Abu Dauddan Tirmidzi)

v Perkara-perkara yang mungkin tertinggal dalam shalat ada tiga: perkara fardhu, perkara sunnah (ab’adh) atau sunnah-sunnah fi’liyah (sunah hai'ah).
- Apabila yang tertinggal perkara fardhu (semisal rukun) maka tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi. Tapi apabila waktunya dekat, maka ketika ingat ia harus langsung mengerjakannya dan memulai apa yang ia tinggalkan dari awal lalu sujud (sahwi) sebelum salam.
Imam Bukhari (1169) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, "Rasulullah saw mengimami kami shalat zhuhur atau ashar, setelah (dua rakaat) Beliau membaca salam. Melihat itu Dzul Yadain berkata, ”Apakah engkau mengurangi rakaat shalat, ya Rasulullah? ”Rasulullah balik bertanya kepada para sahabat, ”Apakah yang dikatakan Dzul Yadain benar?”para sahabat menjawab ”Ya,” maka, Rasulullah saw berdiri dan mengerjakan dua rakaat yang tertinggal kemudian sujud (sahwi) dua kali”.
- Apabila yang tertinggal perkara sunnah, seorang yang shalat tidak perlu kembali mengulang untuk mengerjakannya apabila posisinya telah berada pada bagian fardhu yang lain. Dia cukup melakukan sujud sahwi di akhir shalat
Imam Bukhari (1166) dan Muslim (570) meriwayatkan dari Abdullah bin Buhairah ra, ia menyatakan ”Rasulullah mengimami kami shalat – dalam suatu riwayat lain,”shalat zhuhur” – ketika selesai rakaat kedua, Beliau langsung berdiri tanpa duduk (tasyahud) terlebih dahulu, maka orang-orang pun berdiri mengikutinya. Ketika telah selesai (empat rakaat), kami menunggu Beliau membaca salam, namun Beliau takbir sebelum salam dan sujud dua kali, lalu setelah itu Beliau membaca salam”.
Ibnu Majah (1208) dan Abu Daud (1036) dan lain-lain, meriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا, فَلْيَجْلِسْ, وَ إِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَ يَسْجُدْ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ
”Apabila seseorang di antara kalian berdiri setelah rakaat kedua, tapi belum tegak maka duduklah kembali. Tapi apabila sudah berdiri tegak, maka jangan duduk kembali dan lakukanlah sujud sahwi sebanyak dua kali.”
- Apabila yang tertinggal sunnah-sunnah fi’liyah (Haiat) maka seorang yang shalat tidak perlu mengulang setelah meninggalkannya dan tidak perlu sujud sahwi.
- Apabila seseorang ragu, beberapa rakaat shalat yang telah dikerjakan, maka ia cukup memastikan jumlah rakaat yang benar-benar ia yakini, yaitu yang paling sedikit, lalu diikuti sujud sahwi diakhir shalat.
Imam Muslim (571) meriwayatkan dari Abu Said ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا ِلأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
”Jika seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu beberapa rakaat yang telah dikerjakannya, apakah tiga rakaat atau empat rakaat? Maka buanglah keraguan itu dan bersandarlah pada jumlah rakaat yang telah ia yakini, setelah selesai, sujudlah dua kali sebelum salam. Seandainya dia shalat lima rakaat, maka shalatnya tetap sempurna. Sedangkan bila shalatnya tepat empat rakaat, maka dua sujud yang dikerjakannya itu merupakan penghinaan bagi syaitan.”
Sujud sahwi hukumnya sunnah, karena tidak diisyaratkan untuk menggantikan yang wajib, tempat pelaksanaannya adalah sebelum salam, sebagaimana diuraikan pada hadits terdahulu.

Lima waktu yang dilarang shalat selain shalat yang memiliki sebab khusus:
1. Setelah shalat subuh hingga matahari terbit.
2. Ketika matahari terbit hingga naik kira-kira setinggi tombak.
3. Ketika matahari tepat berada di pertengahan hingga miring ke barat.
4. Setelah shalat ashar hingga terbenam matahari.
5. Ketika terbenam matahari hingga sempurna.
Imam Bukhari (561) dan Muslim (827) meriwayatkan dari Abu Said Al-Khudry ra, ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
”Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari naik (kira-kira setinggi tombak) dan tidak ada shalat setelah ashar. Yakni, janganlah kalian shalat pada waktu-waktu ini.”
Maksud "Tidak ada shalat" di sini ialah dilarang shalat. Yakni, Janganlah kalian shalat pada waktu-waktu itu.
Imam Muslim (831) meriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir ra, ia menyatakan, "Ada tiga waktu yang kami dilarang Rasulullah saw untuk shalat dan menguburkan jenazah padanya; ketika matahari terbit dengan terik hingga naik, ketika matahari tepat di pertengahan hingga miring ke barat dan manakala matahari miring ke barat untuk terbenam."
Larangan-larangan pada hadits di atas berarti haram.
Adapun shalat-shalat yang memiliki sebab khusus, baik sunnah maupun fardhu, maka boleh dikerjakan pada waktu-waktu tersebut berdasarkan:
- Hadits riwayat Bukhari (572) dan Muslim (684) dari Anas ra, bahwa Nabi saw bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
{ وَأَقِمْ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي }
”Barang siapa tidak mengerjakan shalat karena lupa, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika teringat, dan tidak ada kafarat lain selain itu". Allah Ta'ala berfirman:”Dirikanlah shalat untuk mengingatku” (Thaha:14)
- Hadits riwayat Bukhari (1176) dan Muslim (834) dari Ummu Salamah ra, ia menyatakan, ”Rasulullah shalat dua rakaat setelah ashar, maka aku bertanya kepada Beliau tentang hal itu. Beliau menjawab ”Wahai anak perempuan Abu Ummayah, engkau bertanya tentang shalat dua rakaat setelah ashar? Sesungguhnya tadi ada tamu yang datang dari Bani Abdil Qais, maka mereka menghalangi aku dari mengerjakan shalat sunnah dua rakaat ba’diyah zhuhur. Oleh karena itu, aku mengerjakannya sekarang."
-
Hukum Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkad, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari (619) dan Muslim (650) dari Abdullah bin Umar ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
صَلاَةَُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
”Shalat berjamaah dua puluh tujuh derajat lebih utama dari shalat sendirian”.
Namun, yang lebih shahih, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah bagi setiap laki-laki yang mukim (tidak bepergian), sehingga syiar Islam (berjamaah) semakin tampak. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Daud(547) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban (425).
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لا تُقَامُ فِيهِمُ الْجَمَاعَةُ -وَ فِي رِوَايَةٍ: الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ
”Apabila ada tiga orang dalam sebuah desa atau kampung, lalu disana tidak didirikan shalat berjamaah – dalam riwayat lain: (tidak didirikan) shalat – maka syetan akan mengusai/mengalahkan mereka”.

v Seorang makmun diwajibkan untuk niat shalat berjamaah, sedangkan imam tidak wajib untuk niat menjadi imam.
Hal ini agar makmum sah mengikuti imam dan memperoleh pahala jamaah, sesuai dengan hadits Rasulullah saw:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
”Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat...”

v Orang yang merdeka boleh bermakmum kepada budak dan orang yang baligh boleh bermakmum kepada anak remaja, yakni anak yang mendekati usia baligh atau disebut juga mumayyiz.
Bukhari (4051) meriwayatkan bahwa ’Amr bin Salamah ra pernah mengimami kaumnya ketika usianya masih 6 atau 7 tahun.

v Seorang laki-laki tidak boleh bermakmum kepada wanita dan seorang qori’ (yang fasih membaca Al-Qur'an) tidak boleh bermakmum kepada seorang Ummi (buta huruf)
Abu Daud(596) dan lain-lain meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits ra, ia menyatakan, ”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلاَ يَؤُمُّهُمْ, وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ
”Barang siapa mengunjungi suatu kaum, maka janganlah dia menjadi imam (shalat) bagi mereka. Hendaklah imam (dipilih) dari seorang laki-laki dari mereka”
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi imam suatu kaum, selama di sana terdapat laki-laki.

v Dimanapun posisi seorang makmum yang mengikuti imam di sebuah masjid, selama dia mengetahui gerakan imam1, hal itu sah baginya sepanjang dia tidak lebih maju dari shaf imam. Seandainyapun imam shalat di dalam masjid, dan makmum berada di luar, yang dekat dengan masjid, namun dia dapat mengetahui posisi gerakan imam, selama tidak ada penghalang, maka hal tersebut diperbolehkan.

Hukum Mengqasar Shalat
Orang yang musafir (dalam perjalanan), boleh mengqasar shalat dengan lima syarat:
1. Perjalanannya tidak untuk maksiat.
2. Jarak perjalanan sejauh 16 farsakh.
Allah Ta'ala berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي اْلأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalatmu." (An-Nisa': 101)
Imam Muslim (686) meriwayatkan dari Ya’la bin Umayah ia berkata, ”Aku bertanya kepada Umar bin Khattab tentang firman Allah: ”Dan apabila kamu berpergian dimuka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir," bukankah sekarang kondisi umat manusia sudah aman? Umar menjawab: "Dulu, saya juga heran tentang masalah ini, seperti yang kau pikirkan, lalu aku bertanya kepada Rasulullah saw, Beliau menjawab:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ, فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ
”Itu adalah sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya”.
Hadits ini menerangkan bahwa mengqasar shalat tidak dikhususkan pada kondisi takut atau khawatir (diserang musuh).
Imam Bukhari (1039) dan Muslim (690) meriwayatkan dari Anas ra, ia menyatakan,
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَبِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
”Aku shalat zhuhur bersama Nabi saw di Madinah sebanyak empat rakaat dan shalat ashar di Dzil Hulaifah dua rakaat”.
Imam Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq, tentang shalat qasar, Bab. Jarak diperbolehkannya shalat qasar, bahwasanya Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqasar shalat dan berbuka puasa ketika menempuh jarak 4 burud. Yakni, 16 farsakh atau sama dengan ± 81 kilometer.
Hal tersebut tentunya mereka lakukan dengan dalil tauqify, artinya mereka mengetahuinya dari Nabi saw.
3. Shalat yang hendak diqasar berjumlah empat rakaat. Maksudnya, shalat empat rakaat yang harus dia lakukan ketika perjalanan. Jika seandainya dia memiliki shalat empat rakaat yang harus diqadha ketika mukim, maka dia tidak boleh mengqasarnya ketika sedang melakukan perjalanan. Begitu juga shalat yang ia tinggalkan saat perjalanan, dia tidak boleh mengqasarnya ketika sedang mukim.
4. Niat mengqasar shalat ketika Takbiratul Ihram.
5. Tidak bermakmum kepada orang yang sedang mukim.
Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Beliau ditanya: "Bagaimana hukum seorang musafir, ia shalat dua rakaat jika sendirian tapi shalat empat rakaat apabila bermakmum kepada imam yang mukim?" Beliau menjawab, ”Itulah sunnah (Nabi saw)."

Hukum Menjamak Shalat:
Orang yang sedang berada dalam perjalanan diperbolehkan menjamak (menggabungkan) antara shalat zhuhur dan ashar, di waktu mana saja antara dua waktu tersebut. Demikianlah pula diantara Magrib dan Isya di waktu mana saja di antara dua waktu tersebut.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia menyatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
”Ketika sedang dalam perjalanan, Rasulullah saw menjamak shalat zhuhur dan ashar. Juga menjamak shalat magrib dan isya.”
Imam Abu Daud(1208), Tirmidzi (553) – dan ini redaksi Tirmidzi – dan lain-lain meriwayatkan dari Muadz ra, ia bercerita tentang peristiwa perang Tabuk, "Apabila Rasulullah saw bertolak sebelum matahari tergelincir, Beliau mengakhirkan shalat zhuhur dan menggabungkannya dengan shalat ashar, lalu berangkat. Apabila berangkat sebelum magrib, Beliau mengakhirkan magrib dan menggabungkannya pada waktu shalat isya’, apabila ingin berangkat setelah magrib, Beliau menyegerakan isya dan menggabungkannya dengan shalat magrib."

v Diperbolehkan bagi orang yang mukim untuk menjamak shalat apabila turun hujan. Dengan syarat, ia mengerjakannya pada waktu shalat yang pertama.
Imam Bukhari (518) dan Muslim (705) meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Nabi saw pernah shalat tujuh dan delapan rakaat, yakni shalat zhuhur dan magrib (secara jamak) dan shalat magrib dan isya (secara jamak). Muslim menambahkan, "Bukan karena takut (serangan musuh) ataupun perjalanan”.
Sedangkan Bukhari, menambahkan ”Ayub (salah seorang perawi) bertanya., ”Barangkali saat itu waktu malam dan turun hujan? ’Beliau mejawab, ”Mungkin.”
Menjamak shalat karena hujan ini, disyaratkan untuk dikerjakan di masjid secara berjamaah atau ditempat yang terbilang jauh secara 'urf (kebiasaan). Tidak diperkenankan untuk dikerjakan pada waktu shalat kedua, karena bisa jadi hujan akan reda, sehingga dapat dikategorikan mengakhirkan waktu shalat tanpa udzur (alasan syar’i).

Syarat Wajib Shalat Jum’at
Syarat wajib shalat jum’at ada tujuh perkara:
1. Islam.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Sehat.
7. Mampu.
Dalil yang menjelaskan kewajiban shalat jum’at,
-Firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Wahai orang-orang beriman, apabila di seru untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah : 9)
-Hadits riwayat Muslim (865) dan lain-lain dari Abu Hurairah ra dan Ibnu Umar ra, bahwasanya mereka berdua mendengar Rasulullah saw bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
”Hendaklah orang-orang menghentikan diri dari (kebiasaan) meninggalkan shalat-shalat jum’at atau sungguh Allah akan menutup hati-hati mereka sehingga mereka termasuk golongan orang-orang yang lalai”.
Sedangkan dalil-dalil yang menerangkan syarat wajib shalat jum’at adalah, tiga syarat pertama telah terangkum dalam syarat wajib shalat fardhu yang terdahulu, sementara empat syarat terakhir tertera dalam hadits riwayat Daruquthni (2/3)dan lain-lain dari Jabir ra, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ إِلاَّ امْرَأَةً وَ مُسَافِرًا وَ عَبْدًا وَ مَرِيضًا
”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat) maka wajib baginya shalat jum’at, kecuali wanita, orang yang dalam perjalanan, budak dan orang yang sakit”.
Dalam redaksi Abu Daud(1067) dari Thariq bin Syihab ra, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
”Shalat jum’at adalah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan: hamba sahaya, wanita, anak kecil atau orang sakit”.

Syarat Mendirikan Shalat Jum’at
1. Hendaklah didirikan di suatu tempat di kota atau desa.
Hal ini, karena Nabi saw tidak shalat jum’at kecuali di tempat ini, yakni di kota atau di desa. Para kabilah-kabilah arab masa Nabi saw bertempat tinggal di sekeliling kota Madinah, tapi mereka tidak shalat di tempat tersebut, melainkan pergi ke kota Madinah. Dan Nabi saw tidak pernah menyuruh mereka untuk shalat di tempat mereka masing-masing.
2. Jumlah minimal jamaah shalat jum’at adalah empat puluh orang.
Yaitu empat puluh orang yang memenuhi syarat wajib shalat jum’at. Hal ini ditegaskan dalam hadits riwayat Ad-Daruquthni (2/4) dan Baihaqi (3/177) dari Jabir ra berkata:
مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمُعَةً
”Sunnah telah berlaku bahwa di setiap empat puluh orang atau lebih, ada shalat jum’at.”
Abu Daud (1069) dan lain-lain meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik ra, ia berkata, ”Sesungguhnya orang yang paling pertama menghimpun jama’ah adalah As’ad bin Zararah ra, jumlah jama’ah kala itu empat puluh orang."
3. Waktu shalat masih ada
Apabila waktu shalat telah berakhir atau syarat-syarat tidak terpenuhi, maka yang harus dilaksanakan adalah shalat zhuhur.
Imam Bukhari (3935) dan Muslim (860) meriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa ra, ia menyatakan, ”Kami shalat jum’at bersama Nabi saw, ketika kami pulang, dinding-dinding tidak memiliki bayangan untuk bernaung di bawahnya."
Dalam riwayat lain, Bukhari (859) dan Muslim (897) dari Sahl bin Sa’ad ra, ia berkata,”Kami tidak tidur siang dan makan siang kecuali setelah shalat jum’at”.
Kedua hadits di atas menerangkan bahwa shalat jum’at tidak dikerjakan kecuali pada waktu zhuhur, bahkan di awal waktunya.

Rukun-Rukun Shalat Jum’at
1. Dua kali khutbah jum’at sambil berdiri dan duduk di antara keduanya.
Imam Bukhari (878) dan Muslim (861) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُومُ كَمَا تَفْعَلُونَ اْلآنَ
”Nabi saw menyampaikan khutbah jum’at sambil berdiri, lalu duduk lalu berdiri seperti yang kalian lakukan saat ini”.
2. Shalat dua rakaat
Hal ini ditetapkan berdasarkan ijma’ ditambah hadits riwayat Nasai’ (3/111) dan lain-lain dari Umar ra, ia berkata:
صَلاَةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ... عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
”Shalat jum’at itu dua rakaat..., menurut sabda Nabi Muhammad saw”.
3. Dilakukan secara berjamaah.
Karena shalat jum’at pada zaman Nabi saw dan Khulafaurrasyidin tidak pernah dikerjakan kecuali secara berjamaah. Juga berdasarkan pada hadits riwayat Abu Daud (1067) dari Thariq bin Syihab ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ
”Shalat jum’at adalah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap muslim secara berjamaah.”

Sunnah-sunnah Shalat Jum’at
1. Mandi dan membersihkan badan sebelum berangkat.
2. Mengenakan pakaian putih.
3. Memotong kuku.
4. Memakai wangi-wangian.
Imam Bukhari (843) dan lain-lain meriwayatkan dari Salman Al-Farisi ra, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda, ”Barang siapa mandi untuk shalat jum’at dan membersihkan diri sedapat mungkin, lalu memakai wangi-wangian, lalu keluar menuju masjid dengan tidak memisahkan dua orang yang duduk bersebelahan, dilanjutkan menunaikan shalat yang diwajibkan untuknya dan diam ketika imam membaca khutbah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang dilakukan antara jum'at tersebut dengan jum’at yang berikutnya”.
Imam Ahmad (994) dan lain-lain menambahkan, ”Dia memakai pakaiannya yang terbaik. ” Dianjurkan mengenakan pakaian berwarna putih berdasarkan hadits Tirmidzi (994) dan lain-lain, Nabi saw bersabda :
الْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
”Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih, karena itulah pakaian kalian yang paling baik dan kafanilah dengan pakaian (putih) itu jenazah-jenazah kalian”.
Al-Bazzar meriwayatkan dalam kitab musnadnya bahwasanya Nabi saw memotong kuku dan memendekkan kumis Beliau pada hari jum’at”.

v Disunnahkan untuk diam ketika khatib menyampaikan khutbah.
Imam Bukhari (892), Muslim (851) dan lain-lain meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya Nabi saw bersabda.
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
”Jika pada hari jum’at engkau berkata kepada temanmu, ”Diam,” saat imam menyampaikan khutbah, maka engkau telah mengerjakan perkara yang sia-sia”
Barang siapa memasuki masjid saat imam menyampaikan khutbah, dia disunnahkan shalat sunnah ringan dua rakaat sebelum duduk
Abu Daud (1051) meriwayatkan dari Ali ra, bahwa Nabi saw bersabda, ”Barang siapa memasuki masjid saat imam menyampaikan khutbah, dia disunnahkan shalat sunnah ringan dua rakaat sebelum duduk."
Imam Muslim (875) meriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَ اْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَ لْيَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا
”Apabila seseorang diantara kalian hendak shalat jum’at sementara imam sedang khutbah, maka shalatlah dua rakaat, dan ringankanlah dalam mengerjakannya.”
Hadits serupa diriwayatkan oleh Bukhari (888).

Hukum Shalat Hari Raya
Shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkad, jumlahnya dua rakaat. Pada rakaat pertama dibaca takbir sebanyak tujuh kali selain takbiratul ihram, sedangakan pada rakaat kedua dibaca takbir lima kali selain takbir untuk berdiri (setelah sujud).
Hal ini dijelaskan dalam hadits riwayat Bukhari (913) dan Muslim (889) dari Abu Said Al-Khudary ra, ia menyatakan, "Rasulullah saw berangkat menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di Mushalla (tanah lapang), hal pertama yang Beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan berdiri menghadap orang-orang."
Orang-orang duduk di shaf-shaf mereka. Maka, Nabi saw (berkhutbah) menasehati mereka, memberi wasiat, dan menyuruh mereka berbuat baik. Apabila Beliau berkehendak untuk mengutus ekspedisi untuk jihad, Beliau menentukannya saat itu, lalu Beliau turun dari mimbar”.
Imam Nasai’ (3/111) dan lain-lain meriwayatkan dari Umar ra, ia berkata: ”Shalat Idul Fitri berjumlah dua rakaat. Shalat Idul Adha dua rakaat...., lalu berkata, ”Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.” Dan ini juga ditetapkan berdasarkan ijma'(kesepakatan para ulama).
’Amr bin Auf Al-Muzani ra, menyatakan bahwa Nabi saw membaca takbir pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha, pada rakaat pertama Beliau bertakbir tujuh kali sebelum membaca Al-Fatihah dan pada rakaat kedua Beliau bertakbir lima kali sebelum membaca surat Al-Fatihah”.
(HR. Tirmidzi No. 536, ia berkata: "Ini adalah hadits terbaik tentang masalah ini yang diriwayatkan dari Nabi saw.")

v Setelah shalat Ied disyariatkan dua khutbah, pada khutbah pertama diperintahkan membaca takbir sembilan kali dan pada khutbah kedua tujuh kali.
Imam Bukhari (920) dan Muslim (888) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata. ”Nabi saw, Abu Bakar dan Umar, shalat Idul Fitri dan Idul Adha sebelum khutbah”.
Imam Bukhari (932) juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata , ”Aku keluar bersama Nabi saw pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, Beliau shalat terlebih dahulu kemudian khutbah”.
Imam Syafi’i ra (Al-Umm:1/211) meriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdullah bin ’Utbah ra, ia berkata: ”Yang sesuai dengan sunnah adalah imam menyampaikan dua kali khutbah pada shalat hari raya dan memisahkan antara keduanya dengan duduk.”
Dalam riwayat Baihaqi (3/299) disebutkan, ”Yang sesuai dengan sunnah adalah Imam memulai khutbah pertama dengan sembilan kali takbir secara berturut-turut, dan pada khutbah kedua tujuh kali takbir secara berturut-turut.

v Pada hari raya Idul Fitri disunnahkan mengumandangkan takbir sejak terbenam matahari pada malam hari idul fitri sampai pada saat imam akan memimpin shalat ied.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (Al-Baqarah:185)
Para ulama berpandangan bahwa ayat ini untuk takbir Idul Fitri dan diqiyaskan juga untuk takbir Idul Adha.
v Sedangkan pada hari raya Idul Adha, disunnahkan untuk mengumandangkan takbir setiap selesai shalat fardhu sejak subuh hari Arafah sampai waktu ashar hari terakhir tasyriq.

Imam Hakim (1/299) meriwayatkan dari Ali dan 'Ammar ra, mereka menyatakan, "Nabi saw mengeraskan bacaan 'Bismillahirrahmaanirrahim' pada saat shalat fardhu, membaca qunut untuk shalat subuh, dan mengumandangkan takbir sejak subuh hari Arafah sampai shalat ashar hari terakhir hari tasyriq."
Perawi Hakim berkata, ”Sanad hadits ini shahih. Aku belum menemukan cacat pada para perawi-perawinya”.
Imam Bukhari menyatakan,”Umar ra mengumandangkan takbir di dalam kemahnya di Mina sehingga orang-orang yang berada di dalam masjid mendengarnya dan ikut bertakbir. Demikian juga orang-orang yang berada di pasar, mereka semua bertakbir sehingga Mina riuh dengan suara takbir." ”Ibnu Umar ra juga bertakbir di Mina pada hari-hari itu, baik setelah shalat fardhu, diatas pembaringannya, di dalam kemah, di atas tempat duduk dan ketika berjalan, di seluruh hari–hari itu semuanya”.
(Kitab Al-'Idain, Bab. At-Takbir Ayyama Mina)

Hukum Shalat Gerhana
Shalat sunnah gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Apabila waktunya telah lewat, tidak disyariatkan untuk diqadha. Shalat gerhana Matahari dan Bulan disunnahkan sebanyak dua rakaat. Pada masing-masing rakaat terdapat dua laki berdiri, dengan memanjangkan waktu berdiri, dan terdapat dua kali ruku’ dengan memperbanyak bacaan tasbih pada keduanya. Hal ini tidak dianjurkan pada waktu sujud. Setelah shalat dilakukan khutbah sebanyak dua kali.
Imam Bukhari (997) dan Muslim (901) meriwayatkan dari Aisyah ra, ia menyatakan: ”Pada masa Rasulullah saw terjadi gerhana matahari. Maka, Beliau shalat bersama para shahabat. Beliau shalat dengan memperlama waktu berdiri, lalu ruku’ dengan memperpanjang waktu ruku’, kemudian berdiri dengan memperpanjang waktu berdiri, tapi lebih cepat dari yang pertama, lalu ruku dengan memperpajang waktu ruku’, tapi lebih cepat dari ruku’ yang pertama. Lalu Beliau sujud dan memperlama waktu sujud, kemudian melanjutkan rakaat kedua seperti rakaat pertama. Setelah itu Beliau memuji dan mengagungkan Allah dan bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَ اْلقَمَرَ أَيَتَانِ مِنْ أَيَاتِ اللهِ. لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَ لاَ لِحَيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَ كَبِّرُوْا وَ صَلُّوْا وَ تَصَدَّقُوْا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Gerhana tidak terjadi pada keduanya dikarenakan mati atau hidupnya seseorang. Apabila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekalah”.
Yang dimaksud gerhana adalah sebagian atau seluruh cahayanya menghilang. Nabi saw menyatakan hadits ini karena bertepatan dengan hari kematian putranya Ibrahim as, sementara orang arab jahiliyah berpandangan bahwa apabila terjadi gerhana, maka telah terjadi kematian orang yang diagungkan/dihormati.

v Bacaan pada shalat gerhana Matahari dipelankan, sementara shalat gerhana Bulan dikeraskan.
Tirmidzi (562) meriwayatkan -dan berkata bahwa hadits ini hasan shahih – dari Samurah bin Jundub ra, ia berkata, ”Nabi saw mengimami kami shalat gerhana Matahari dan kami tidak mendengar suara bacaan Beliau....”
Bukhari (1016) dan Muslim (901) meriwayatkan dari Aisyah ra, ia menyatakan, "Nabi mengeraskan suara ketika shalat gerhana Bulan”.
Dari kedua hadits di atas dapat dipahami bahwa shalat gerhana Matahari dibaca pelan (sirr) karena termasuk kategori shalat di siang hari. Sedangkan shalat gerhana bulan dibaca keras karena termasuk kategori shalat di malam hari.

Hukum Shalat Istisqa' (Minta Hujan)
Shalat istisqa' hukumnya sunnah, Imam Bukhari (966) dan Muslim (894) meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim ra, ia menyatakan ”Rasulullah saw keluar menuju Mushalla (tanah lapang) untuk melakukan shalat istisqa'. Beliau menghadap kiblat, mengubah posisi serbannya lalu shalat dua rakaat”. Dalam riwayat Bukhari dituturkan ”Beliau mengeraskan bacaannya”.

Sunah-sunnah istisqa
1. Sebelum shalat dilakukan, imam menyuruh masyarakatnya untuk bertaubat, memperbanyak shadaqah, meninggalkan kezhaliman, berdamai dengan orang yang memusuhi (sesama muslim) dan puasa sunnah tiga hari.
Semua perkara-perkara ini dianjurkan karena lebih memudahkan untuk diijabahnya doa, sebagaimana tertuang dalam hadits-hadits shahih.
2. Pada hari keempat imam bersama masyarakat menuju tempat shalat dengan pakaian sederhana (jauh dari kesombongan dan pamer kekayaan), dengan tenang dan merendahkan diri.
Ibnu Majah (1266) dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia menyatakan, ”Rasulullah saw keluar dengan penampilan sangat sederhana, khusyu’, tawadhu, dan pasrah. Kemudian, Beliau shalat dua rakaat seperti shalat Ied (hari raya)."
3. Shalat dua rakaat seperti shalat Ied (hari raya).
Yakni, dengan membaca takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima takbir pada rakaat kedua. Sebagaimana dijelaskan oleh hadits riwayat Abu Daud(1165) dan Tirmidzi (558) dari Ibnu Abbas ra, ketika Beliau ditanya tentang tata cara shalat istisqa’nya Nabi saw, Beliau menjawab, "Beliau shalat dua rakaat seperti shalat Ied."
4. Imam menyampaikan khutbah setelah shalat.
Imam Ibnu Majah (1268) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata,”Suatu hari Rasulullah saw keluar untuk shalat istisqa’, Beliau shalat dua rakaat tanpa adzan dan iqamat, lalu menyampaikan khutbah kepada kami, lalu berdoa. Setelah itu Beliau menghadapkan wajahnya ke arah kiblat sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian mengubah posisi serbannya; meletakkan yang kanan di arah kiri dan kiri di arah kanan. Beliau membaca istigfar di kedua khutbahnya sebagai ganti takbir yang biasa dibaca saat khutbah hari raya."
Karena Allah Ta'ala berfirman:
اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا, يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
”Mintalah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah maha pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat kepadamu." (Nuh : 10-11).
5. Mengubah posisi serban.
Yakni, mengubah posisi yang atas menjadi di bawah dan yang kanan menjadi di kiri. Hal ini sebagai rasa permohonan agar Allah mengubah kondisi kekeringan menjadi kesuburan.
6. Memperbanyak doa dan istigfar serta berdoa dengan doa Rasulullah saw:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا سُقْيَا رَحْمَةٍ وَلاَ تَجْعَلْهَا سُقْيَا عَذَابٍ, وَلاَ مَحْقٍ وَ لاَ بَلاَءٍ وَ لاَ هَدْمٍ وَلاَ غَرَقٍ[4]. اللَّهُمَّ عَلَى الظِّرَابِ وَ اْلأَكَامِ وَ مَنَابِتِ الشَّجَرِ وَ بُطُوْنِ اْلأَوْدِيَةِ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا[5] اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا هَنِيئًا مَرِيئًا مَرِيعًا سَحَّا عَامًّا غَدَقًا طَبَقًا مُجَلِّلاً دَائِمًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ[6], اللَّهُمَّ اسْقِنَا الْغَيْثَ وَ لاَ تَجْعَلْنَا مِنَ الْقَانِطِِينَ اللَّهُمَّ إِنَّ بِاْلعِبَادِ وَ الْبِلاَدِ مِنَ الْجُهْدِ وَ الْجُوْعِ الضَّنْكِ مَا لاَ نَشْكُوْا إِلاَّ إِلَيْكَ, اللَّهُمَّ أَنْبِتْ لَنَا الزَّرْعَ وَ أَدِرَّ لَنَا الضَّرْعَ, وَ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاءِ وَ أَنْبِتْ لَنَا مِنْ بَرَكَاتِ اْلأَرْضِ, اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَغْفِرُكَ إِنَّكَ كُنْتَ غَفَّارًا, فَأَرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْنَا مِدْرَارًا
”Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai siraman rahmat, jangan jadikan dia sebagai siraman azab, siraman yang merusakkan ataupun siraman bencana, yang menghancurkan dan menenggelamkan. Ya Allah, siramkanlah hujan ini ke arah perbukitan, pegunungan, tempat tumbuhnya pepohonan, dan lembah-lembah ngarai. Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai kemakmuran bagi kami, bukan mendatangkan bencana atas kami. Ya Allah, siramilah kami dengan hujan yang deras, tenang, menyuburkan, menyejukkan, menyirami, secara merata, deras dan berlimpah-limpah, langsung sampai kiamat kelak. Ya Allah, turunkanlah untuk kami air hujan dan jangan Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang berputus asa. Ya Allah, sesungguhnya telah terjadi kesulitan, kelaparan dan kesempitan menimpa hamba-hamba- Mu. Ya Allah, tumbuhkanlah tumbuh-tumbuhan untuk kami dan deraskan kandungan air susu.
Turunkanlah untuk kami keberkahan dari langit, dan tumbuhkanlah untuk kami keberkahan dari bumi. Ya Allah, lenyapkanlah bencana dari kami, yang tidak ada yang sanggup menghilangkannya kecuali Engkau.
Ya Allah, sesungguhnya kami meminta apapun kepada-Mu, karena Engkau maha pengampun. Maka, turunkanlah hujan yang deras untuk kami.2

7. Disunnahkan untuk mandi di sungai apabila airnya telah mengalir dan membaca tasbih bila mendengar suara petir dan kilat.
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i ra, bahwasanya apabila air di sungai telah mengalir, Nabi saw bersabda, ”Keluarlah kalian bersamaku, mari menuju air yang telah Allah jadikan suci lagi menyucikan, kita bersuci dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah swt." (Al-Umm:1/223)
Imam Muslim (898) dan lain-lain meriwayatkan dari Anas ra, ia berkata,”Ketika kami bersama Rasulullah saw, hujan menimpa kami. Lalu, Beliau membuka pakaiannya hingga tubuh Beliau terkena air hujan, kami bertanya, "Kenapa engkau berbuat demikian, Ya Rasulullah?" Beliau menjawab,”Karena hujan ini adalah makhluk baru yang diciptakan oleh Rabbnya”.
Imam Nawawi menerangkan,”Artinya, hujan itu adalah rahmat, dan Allah baru saja menciptakannya. Oleh karena itulah Rasulullah ingin memperoleh berkah darinya”. (Syarh Muslim : 6/195).
8. Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Al-Muwatha' (2/992) dari Abdullah bin Zubair ra, bahwasanya apabila Beliau mendengar suara petir, Beliau meninggalkan pembicaraan, lalu mengucapkan,
سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ
"Maha suci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih memujinya, karena takut kepada-Nya”.
Lalu Beliau berkata,”Sesungguhnya petir ini adalah peringatan serius untuk penghuni bumi, karena dia mengingatkan tentang bahaya suaranya dan turunnya hujan, dan lain-lain." Doa ini diambil dari surat Ar-Ra’d:13


Shalat Khauf
Shalat khauf (kondisi takut atau perang) ada tiga macam:
1. Musuh tidak berada di arah kiblat, dalam kondisi ini, imam membagi pasukan menjadi dua. Satu bagian berdiri menghadap musuh, sementara yang lain berada dibelakangnya. Imam shalat satu rakaat dengan yang berada dibelakangnya, lalu mereka menyempurnakan (satu) rakaat yang tersisa masing-masing dan beranjak berdiri menghadap musuh. Lalu kelompok yang belum shalat datang menuju imam, shalat bersamanya satu rakaat lalu mereka menyempurnakan (satu) rakaat lain yang tersisa, sementara imam menunggu dan terakhir membaca salam bersama-sama dengan mereka.
Imam Bukhari (3900), Muslim (842) dan lain-lain meriwayatkan dari Shahih bin Khawwat dari shahabat yang menyertai Rasulullah saw ketika mengerjakan shalat khauf saat peristiwa peperangan Dzatur-Riqo’, ia menuturkan, ”Saat itu, satu kelompok membuat shaf di belakang Rasulullah, sementara yang lain berdiri menghadap musuh. Nabi saw shalat bersama shaf yang di belakangnya satu rakaat, lalu diam berdiri, sedangkan para makmum menyempurnakan shalat mereka masing-masing dan bergegas berbaris menghadap musuh. Kemudian datang kelompok lain (yang belum shalat) dan Nabi shalat satu rakaat yang tersisa dengan mereka, lalu diam duduk sambil menunggu. Sementara mereka menyempurnakan shalat mereka yang tersisa dan terakhir membaca salam bersama-sama Nabi saw.
2. Musuh berada di arah kiblat.
Dalam kondisi ini, imam membagi pasukan menjadi dua shaf (barisan), lalu memulai shalat (takbiratul ihram) bersama-sama mereka semua, apabila imam sujud, maka salah satu dari dua barisan itu ikut sujud, sedangkan barisan yang lain tetap berdiri menjaga mereka. Apabila Imam telah bangkit dari sujud, maka mereka (yang berjaga) sujud, lalu menyusul gerakan imam.
Imam Bukhari (902) meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia menyatakan, ”Nabi berdiri dan orang-orang pun ikut berdiri bersama Beliau. Nabi membaca takbir dan mereka pun membaca takbir bersama Beliau. Ketika Nabi ruku’ sebagian dari mereka ikut ruku’, lalu Nabi sujud dan mereka pun ikut sujud. Kemudian Beliau berdiri untuk rakaat kedua, maka berdiri pula orang-orang yang telah sujud bersama Beliau dan (berganti) menjaga teman-temannya.
Dan, barisan kedua pun ruku’ dan sujud bersama Beliau, semua orang ikut shalat, akan tetapi sebagian mereka menjaga sebagian yang lain."
3. Apabila keadaan sangat genting dan perang sedang berkecamuk.
Maka dalam kondisi ini, shalat dikerjakan sedapat mungkin, baik sambil berjalan maupun sambil menunggang kendaraan, baik dengan menghadap kiblat ataupun tidak menghadap kiblat.
Allah Ta'ala berfirman:
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ. فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوْا تَعْلَمُونَ
”Peliharalah semua shalat (mu) dan peliharalah shalat wustha. Dan, berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusu’, jika kamu ada dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan, kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagai mana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239)
Imam Bukhari (4261) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, tentang tata cara shalat khauf, ”Apabila keadaan sangat genting maka para sahabat shalat sambil berjalan diatas kedua kaki mereka atau sambil berkendaraan. Seraya menghadap kiblat atau tidak."
Imam Malik berkata, ”Saya tidak mengetahui Abdullah bin Umar berkata demikian melainkan dari Rasulullah saw.”

Shalat Jenazah
Ada dua jenazah yang tidak perlu dimandikan dan dishalatkan, yaitu orang yang mati syahid dalam peperangan melawan kaum musyrikin dan bayi yang keluar (dari rahim) tanpa suara jeritan (artinya keluar dalam keadaan sudah mati).
Masalah ini sesuai dengan hadits riwayat Bukhari (1278) dari Jabir ra:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَمَرَ فِي قَتْلَى أُحُدٍ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ وَ لَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّى عَلَيْهِمْ
”Nabi saw memerintahkan agar para syuhada perang Uhud, dikuburkan beserta darah-darah mereka, tanpa dimandikan dan di shalatkan.”
Imam Tirmidzi (1032) dan lain-lain meriwayatkan dari Jabir ra, bahwasanya Nabi saw berabda:
الطِّفْلُ لاَ تُصَلَّى عَلَيْهِ وَ لاَ يَرِثُ وَ لاَ يُوْرَثُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ
”Bayi yang baru lahir dan meninggal dunia, tidak perlu dishalatkan, tidak mewarisi dan tidak meninggalkan warisan selama tidak menjerit.”
Ibnu Majah (1508) meriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Apabila bayi yang keluar menjerit (sebelum meninggal), maka ia dishalatkan dan berhak mendapat warisan.”
Yang dimaksud menjerit pada hadits-hadits di atas, adalah setiap suara tangis bayi, bersin atau gerakan yang menunjukan bahwa ia sempat hidup (setelah dilahirkan).
· Jenazah dimandikan dengan jumlah basuhan ganjil. Pada basuhan pertama air dicampur dengan kafur (sejenis wangi-wangian). Masalah ini diterangkan dalam hadits Bukhari (165) dan Muslim (939) dari Ummu ’Athiyah Al-Anshariyah ra, ia berkata: ”Rasulullah saw menemui kami saat kami hendak memandikan jenazah putrinya. Beliau bersabda:
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي اْلآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ وَابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَ مَوَاضِعِ اْلوُضْوءِ مِنْهَا
”Basuhlah tiga atau lima atau tujuh kali atau bahkan lebih, jika kalian memandang perlu, dengan air yang dicampur sidur (bahan pewangi), dan pada basuhan terakhir campurkan juga dengan pewangi (kafur). Mulailah membasuh bagian kanannya dan anggota tubuh yang menjadi tempat wudhunya..”
· Jenazah dikafani dalam tiga lembar kain putih, tidak mengenakan baju kurung dan tidak juga mengenakan serban.
Imam Bukhari (1214) dan Muslim (941) meriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: ”Rasulullah saw dikafani dengan tiga lembar kain putih berbahan katun, tanpa mengenakan baju kurung dan serban.”
Tata cara shalat jenazah
· Jenazah dishalatkan dengan empat kali takbir. Pada takbir pertama membaca Al-Fatihah, takbir kedua membaca shalawat kepada nabi saw, pada takbir ketiga berdoa dengan membaca:
اللَّهُمَّ هَذَا عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدَيْكَ خَرَجَ مِنْ رَوْحِ الدُّنْيَا وَسَعَتِهَا وَمَحْبُوْبُهُ وَأَحِبَّاؤُهُ فِيهَا إِلَى ظُلْمَةِ اْلقَبْرِ وَمَا هُوَ لاَقِيهِ كَانَ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنَّا اللَّهُمَّ إِنَّهُ نَزَلَ بِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُولٍ بِهِ وَأَصْبَحَ فَقِيْرًا إِلَى رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ غَنِيٌ عَنْ عَذَابِهِ وَقَدْ جِئْنَاكَ رَاغِبِيْنَ إِلَيْكَ شُفَعَاءَ لَهُ. اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِي إِحْسَانِهِ وَإِنْ كَان مُسِيْئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ وَلَقِّهِ بِرَحْمَتِكَ رِضَاكَ وَقِهِ فِتْنَةََ الْقَبْرِ وَعَذَابِهِ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَجَافِ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ وَلَقِّهِ بِرَحْمَتِكَ اْلأَمْنَ مِنْ عَذَابِكَ حَتَّى تَبْعَثَهُ آمِنًا إِلَى جَنَّتِكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ"
”Ya Allah ini adalah hamba-Mu dan anak dari dua orang hamba-Mu. Dia telah keluar dari kesenangan dan kelapangan dunia, sedangkan orang-orang yang ia cintai dan kasihi tinggal di dunia, menuju gelapnya liang kubur dan hal yang akan ia temui kelak di dalamnya. Ia telah bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Engkau, tiada sekutu bagi-Mu, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu, dan tentang dirinya Engkau lebih tahu daripada kami.
Ya Allah, ia datang menghadap-Mu dan Engkaulah sebaik-baik tempat menghadap, ia berangkat dalam keadaan fakir akan rahmat-Mu, dan Engkau Maha tidak memerlukan siksa baginya. Kami memohon pada-Mu karena rasa cinta kepada-Mu dan mengharap syafaat untuknya.
Ya Allah, apabila ia meninggal sebagai orang baik, maka tambahkanlah kebaikannya. Dan jika ia meninggal sebagai orang yang tidak baik, maka ampunilah dia dan pertemukanlah ia dengan rahmat dan ridha-Mu.
Selamatkanlah ia dari finah dan adzab kubur, luruskanlah kuburan untuknya, dan lapangkanlah tanah dari kedua lambungnya. Pertemukanlah – ia dengan rahmat-Mu- dengan keamanan dari siksa-Mu sampai Engkau kelak membangkitkannya dalam kondisi aman sentausa di surga-Mu, dengan rahmat-Mu wahai Tuhan yang Maha Penyayang diantara yang menyayangi.”
Dalil Poin diatas adalah hadits Bukhari (1188) dan Muslim (951) yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ketika hari meninggalnya raja Najasyi, Nabi saw keluar menuju Masjid, membuat shaf dengan para sahabat dan shalat dengan empat kali takbir.”
Imam Bukhari (1270) meriwayatkan dari Thalhah bin Abdullah bin Auf, ia menyatakan, ”Saya shalat jenazah di belakang Ibnu Abbas ra. Beliau membaca surat Al-Fatihah, lalu setelah itu Beliau berkata, ”Agar kalian semua tahu bacaan Al-Fatihah adalah sunnah Rasulullah saw.”
Imam Syafi’i meriwayatkan dalam kitab musnadnya dan Nasa’i (4/75) dengan sanad shahih dari Abu Umamah bin Sahl, ia berkata, ”Bahwa seorang sahabat Rasulullah saw memberitahunya bahwa yang sesuai sunnah dalam shalat jenazah adalah, hendaknya imam membaca takbir, lalu membaca surat Al-Fatihah setelah takbir pertama dengan suara pelan, kemudian membaca shalawat untuk Nabi saw, dan mengikhlaskan doa bagi jenazah pada takbir-takbir yang lain, tidak membaca apa-apa setelah itu (kecuali doa) lalu diakhiri dengan membaca salam dengan suara pelan."
Kumpulan doa-doa di atas dihimpun Imam Syafi’i ra, dari gabungan beberapa hadits. Adakalanya Beliau menyebutkan maknanya saja (lafadnya berbeda), dan semuanya itu dianggap baik oleh para sahabat Beliau.
Hadits paling shahih tentang masalah ini (doa jenazah) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Auf bin Malik ra, ia berkata, ”Ketika Rasulullah saw menshalati jenazah, ia mendengarnya membaca:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّي الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ
”Ya Allah, ampunilah dia, kasihilah dia, selamatkanlah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, lapangkanlah kuburannya, bersihkanlah ia dengan air salju dan embun, dan sucikanlah dia dari segala dosa sebagaimana kain putih, dibersihkan dari noda. Berikanlah dia pengganti rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), keluarga pengganti yang lebih baik dari keluarganya (di dunia), isteri pengganti yang lebih baik dari isterinya (di dunia), dan selamatkanlah ia dari fitnah kubur dan adzab api neraka.”
Imam Tirmidzi (1024) dan Abu Daud(3201), meriwayatkan, dari Abu Hurairah ra, berkata: ”Bahwasanya apabila Rasulullah menshalati jenazah, Beliau mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِسْلاَمِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ
”Ya Allah, ampunilah dosa orang-orang yang hidup dan orang-orang yang sudah mati diantara kami. Orang-orang yang hadir di sini dan orang-orang yang tidak ada di sini di antara kami. Orang-orang yang masih muda dan orang-orang yang sudah tua di antara kami. Kaum laki-laki dan wanita di antara kami. Ya Allah, jika Engkau menghidupkan seseorang di antara kami, maka hidupkanlah ia dalam naungan Islam, dan barang siapa Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkan ia dalam keadaan beriman.”
· Pada takbir keempat membaca
اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ
”Ya Allah dengan Engkau hampakan kami dari perkara yang telah diraihnya, jangan engkau turutkan bencana kepada kami sepeninggalnya dan ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosanya.”
SedangkanAbu Dawud (3201) meriwayatkan dengan redaksi, ”Jangan engkau sesatkan kami setelah ditinggal pergi olehnya.”
Setelah takbir ke empat dan berdoa, diakhiri dengan salam. Imam Baihaqi (4/43) meriwayatkan dengan sanad jayyid (bagus) dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia menyatakan bahwasanya Rasulullah saw membaca salam untuk shalat jenazah seperti salam untuk shalat biasa.
[1] Awwabin adalah orang-orang yang sadar dari kelalaian dan bertaubat dari dosa-dosa yang dilakukan.
1 ini adalah sebaik-baik bid’ah artinya baik untuk dilaksanakan. Bid’ah ialah setiap yang baru (dalam masalah agama) tanpa ada contoh sebelumnya (dari Nabi saw dan para sahabat). Dikatakan bid’ah hasanah apabila sesuai dengan syariat dan termasuk perbuatan yang baik dikerjakan. Dinamakan bid’ah dzamimah dan tertolak apabila bersebrangan dengan syariat dan termasuk dalam perbuatan yang dianggap jelek untuk dikerjakan. Dan dinamakan bid’ah mubahah (boleh) apabila tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat.
1 Allah adalah as-salam maksudnya asslam ialah salah satu dari asma Allah, ada yang berpendapat: Allah selamat dari segala bentuk aib dan kefanaan yang terdapat pada makhluk.
1 Seruan tauhid yang tidak akan berubah dan berganti
[2] Derajat yang melebihi derajat seluruh makhluk
[3] Yang Allah swt janjikan dalam surat Al-Isra’:79 “Mudah-mudahan Tuhanmu mengakngkat kamu ke tempat yang terpuji”
1 Dalam kewajiban menutup aurat ketika shalat, sedangkan di luar shalat sama dengan wanita merdeka.
1 Baik dengan mendengar, melihat, mendengar orang yang mengeraskan suara imam (muballigh) ataupun dengan melihat gerakan shaf di depannya.
[4] Hadist Mursal. HR. Imam Syafi’I dalam kitab Al-Umm (1/222)
[5] HR. Bukhari (967) dan Muslim (897)
[6] HR. Abu Daud(1169) dan lain-lain
2 HR. Imam Syafi’I, dalam kitab Al-Umm (1/222)